Suatu
kali kami mendapat tugas Bahasa Indonesia untuk membuat sebuah puisi dengan
tema apapun. Kami dibebaskan untuk menulis dimanapun tanpa ada tekanan
sedikitpun. Kami hanya diperbolehkan mengerjakan tugas tersebut selama jam
pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung. Akhirnya kami bergerak menuju
tempat-tempat yang menurut kami strategis untuk menyusun kata-kata dalam
kalimat yang harmoni.
Inilah
tempat-tempat strategis yang kami gunakan untuk menulis puisi. Ada yang memilih
duduk di dalam kelas sendiri, menepi di belakang sekolah, memanjat pohon di
pinggir sekolah, duduk di kursi depan sekolah, duduk di bawah pohon. Lalu kamu
mencari aku di mana? Aku dan beberapa teman dekat ku, iya maksudku si Ai dan
Titin lebih memilih nongkrong di gubuk
atau rumah teduh persawahan.
Kamu
masih bertanya mengapa aku bisa di tempat itu? Sini aku beri tahu, sekolahku
adalah salah satu sekolah yang terkenal dengan sebutan sekolah Mewah. Hussst,
sekolah ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Sekolah ini bukan sekolah yang
isinya kendaraan mewah, gedung yang megah, apa lagi bayaran yang mahal. Sekolah
Mewah yang aku maksud adalah sekolah mepet
sawah atau diapit dengan persawahan warga. Posisinya persis berada di tengah
persawahan antara desa ku dan desa tetangga. Jadi, kami bisa menikmati
keindahan hamparan hijaunya persawahan ketika masa pertumbuhan padi yang baru
saja ditanam.
Tentu
saja, aku dan kedua temanku ini tidak ingin menyianyiakan momen tersebut untuk
membuat tugas puisi di hari ini. Hembusan angin yang sepoi-sepoi menambah lengkapnya
rangkaian kata yang kami tulis. Memang benar tempat kami ini tidak berada di
dalam wilayah sekolah, tapi kami dibebaskan untuk mengekspresikan diri.
Prinsipnya, asal kami tidak membolos sekolah saja sih.
Akhirnya
kami pun sudah menyelesaikan puisi yang kami susun. Pada pertemuan selanjutnya
kami diminta untuk membacakan puisi yang sudah kami buat. Ada saat momen lucu
ketika seorang teman di kelas ditunjuk untuk membacakan sebuah puisi. Dia
membacakanannya seolah itu bukanlah puisi tapi sebuah pengakuan yang
menyudutkan seorang teman yang lain. Ini bukan lagi membahas soal puisi, tapi
lebih kepada berbalas puisi sesama teman. Dan lebih lucunya lagi, guru yang
mengajar kami itu tidak tahu maksud tersembunyi dari isi puisi itu. Sedang kami
sekelas yang memahaminya pun hanya bisa tertawa dan berbisik sesama teman yang
lain. Sekali ini, seharusnya hanyalah sebuah puisi ungkapan rasa dari seorang
penulis kepada pembaca.
Komentar
Posting Komentar