Sekolah Mewah (D-SMA #6)


Suatu kali kami mendapat tugas Bahasa Indonesia untuk membuat sebuah puisi dengan tema apapun. Kami dibebaskan untuk menulis dimanapun tanpa ada tekanan sedikitpun. Kami hanya diperbolehkan mengerjakan tugas tersebut selama jam pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung. Akhirnya kami bergerak menuju tempat-tempat yang menurut kami strategis untuk menyusun kata-kata dalam kalimat yang harmoni.

Inilah tempat-tempat strategis yang kami gunakan untuk menulis puisi. Ada yang memilih duduk di dalam kelas sendiri, menepi di belakang sekolah, memanjat pohon di pinggir sekolah, duduk di kursi depan sekolah, duduk di bawah pohon. Lalu kamu mencari aku di mana? Aku dan beberapa teman dekat ku, iya maksudku si Ai dan Titin lebih memilih nongkrong di gubuk atau rumah teduh persawahan.

Kamu masih bertanya mengapa aku bisa di tempat itu? Sini aku beri tahu, sekolahku adalah salah satu sekolah yang terkenal dengan sebutan sekolah Mewah. Hussst, sekolah ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Sekolah ini bukan sekolah yang isinya kendaraan mewah, gedung yang megah, apa lagi bayaran yang mahal. Sekolah Mewah yang aku maksud adalah sekolah mepet sawah atau diapit dengan persawahan warga. Posisinya persis berada di tengah persawahan antara desa ku dan desa tetangga. Jadi, kami bisa menikmati keindahan hamparan hijaunya persawahan ketika masa pertumbuhan padi yang baru saja ditanam.

Tentu saja, aku dan kedua temanku ini tidak ingin menyianyiakan momen tersebut untuk membuat tugas puisi di hari ini. Hembusan angin yang sepoi-sepoi menambah lengkapnya rangkaian kata yang kami tulis. Memang benar tempat kami ini tidak berada di dalam wilayah sekolah, tapi kami dibebaskan untuk mengekspresikan diri. Prinsipnya, asal kami tidak membolos sekolah saja sih.

Akhirnya kami pun sudah menyelesaikan puisi yang kami susun. Pada pertemuan selanjutnya kami diminta untuk membacakan puisi yang sudah kami buat. Ada saat momen lucu ketika seorang teman di kelas ditunjuk untuk membacakan sebuah puisi. Dia membacakanannya seolah itu bukanlah puisi tapi sebuah pengakuan yang menyudutkan seorang teman yang lain. Ini bukan lagi membahas soal puisi, tapi lebih kepada berbalas puisi sesama teman. Dan lebih lucunya lagi, guru yang mengajar kami itu tidak tahu maksud tersembunyi dari isi puisi itu. Sedang kami sekelas yang memahaminya pun hanya bisa tertawa dan berbisik sesama teman yang lain. Sekali ini, seharusnya hanyalah sebuah puisi ungkapan rasa dari seorang penulis kepada pembaca.

Komentar