Menikmati Kesendirian

 

Oleh: Wahyu D. Fatimah

Terlahir dari keluarga yang menurutku tidak baik-baik saja, menjadikanku lebih protektif. Menjaga diri dari yang belum waktunya tentu saja berat. Terlebih ketika lingkungan kita tidak mendukung. Sesekali ada yang bertanya mengapa aku tidak pacarana saja, agar ada yang menjadi tempat ku bersandar. Bersyukurnya aku yang memang tidak merasa ada yang mencoba mendekatiku, sehingga aku jauh lebih tenang dan tidak perlu memikirkannya terlalu dalam.

Namun kemudian, di tahun-tahun berikutnya, aku mulai merasakan benih-benih yang tumbuh dan bersemi dari hati-hati yang kucoba jelajahi. Sayangnya rasa ini hanya sebelah rasa yang tidak terbalas dengan baik. Aku yang merasa namun aku juga yang menjauh. Karena aku tahu bahwa dia lebih menganggapku sebagai seorang teman.

Hal yang samapun terulang kembali. Lagi-lagi aku manaruh rasa pada seseorang yang belum waktunya secara berlebihan. Akhirnya aku sendiri yang terluka karena perasaan terbalas dengan satu kata darinya yang menganggapku hanya sebagai seorang sahabat. Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku tidak layak untuk dicintai seperti orang-orang di luar sana yang bahkan begitu banyak antrian yang ada dibelakangnya. Yang dengan mudahnya mereka menolak satu persatu orang yang datang padanya.

Terkadang aku menangisi diriku sendiri di dalam kamar yang sempit hanya untukku sendiri. Menghayati apa yang salah dari diriku. Aku sudah mencoba untuk membuka hati terhadap hal-hal tersebut, yang kusebut cinta. Tapi Allah berkata untukku bersabar, belum waktunya aku memulai itu semua.

Hingga akhirnya suatu hari aku menerima undangan darinya, yang lebih menganggapku sebagai seorang sahabat. Dia akan melangsungkan pernikahan beberapa hari kemudian. Sungguh bukan aku tidak mengikhlaskannya untuk membangun bahtera rumah tangga. Tapi aku hanya menangisi diriku sendiri. Bagaimana mungkin orang-orang yang pernah menarik perhatianku, kini sudah berkeluarga semua. Sedang aku masih di sini sendiri dengan segala perasaanku yang tidak menentu.

Kupeluk erat diriku yang sudah tidak bisa menahan pahitnya sebuah pengharapan dari manusia yang tidak pernah bisa diharapkan. Aku yang salah, memang hanya aku yang salah. Seharusnya aku memang tidak pernah berharap kepada mahluk-Nya. Tapi lagi-lagi aku mengulang kesalahan yang sama dan ku katakana pada diriku sendiri.

“Tidak apa-apa ima, tidak apa-apa. Kamu sudah berusaha semampumu. Kamu bukan tidak mampu, tapi kamu hanya butuh waktu untuk pulih kembali.”

Hingga akhirnya aku memutuskan untuk meredam segala emosiku dan bangkit kembali, menyelesaikan segala tugasku yang belum usai. Setelahnya aku pulang ke pelukan tanah kelahiran. Sejenak menenangkan diri dari pelajaran yang sangat berharga dalam hidupku. Lalu kemudian melangkah kembali untuk mencari pengalaman dan pembelajaran yang baru. Mencoba meninggalkan segala apa yang sudah terjadi di masa itu. Mencoba bangkit dari rasa sakit yang tidak pernah ingin kurasakan kembali.

Kali ini aku memutuskan untuk merantau ke pulau yang sama sekali belum pernah kujamah sebelumnya. Salah satu pulau yang memang ingin sekali aku kunjungi untuk mencapai titik 0 yang kusebut lupa. Dan disinilah aku memulai perjalananku kembali. Menikmati masa-masa singgel ku sembari mencari pengalaman baru.

Lalu bagaimana dengan cerita asmaraku? Ah, sementara aku akan melupakannya dan meninggalkannya sejenak. Lagi pula ngapain juga aku memikirkannya terlalu dalam, kalau memang belum waktunya dia datang untukku. Nanti saja deh, kalau dia sudah datang baru aku akan memikirkannya. Dan sekarang cukup menikmati waktu sediri saja dulu, sembari mengembangkan diri untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik.

Singgel itu bukan hanya tentang kesendirian, tapi tentang bagaimana kita menikmati kesendirian itu dan memaknainya dalam perjalanan hidup kita.

Bionarasi

Wahyu D. Fatimah, atau yang biasa disapa Ima. Lahir dan besar di salah satu pulau kecil di Indonesia, tidak membuatnya menjadi kecil juga. Dia merupakan salah satu dari berjuta orang di Indonesia yang ingin menjelajahi bumi pertiwi. Maka itu, penulis senang sekali mencoba tinggal di tempat-tempat baru. Lahir di Pulau Maluku, transit di Pulau Sulawesi, kuliah di Pulau Jawa, kerja di Pulau Sumatra, dan masih banyak Pulau yang ingin dijamahnya. Selain sibuk menulis, penulis juga sibuk dengan ketidaksibukannya sambil nge-insta di akun @wahyu_fatimah94.

Komentar