JALAN PULANG (CAM #16) THE LAST EPISODE

 


Katanya “Ada kenalan tidak di kampus itu, coba saja komunikasi dengan orang dalam, agar dimudahkan untuk masuknya, Fa.”

Siap bilang bahwa jalan masuk kampus itu hanya ada satu pilihan, percayalah, masih banyak jalan lain yang bisa kau lalui. Tapi pertanyaannya sekarang, apa kamu mau lewat jalan belakang, ketika orang yang menjadi panutanmu saja tak mengajarkan itu.

Kataku “Jika jalan yang kutempuh sejak awal sudah tidak baik, bagaimana hasil yang akan aku dapatkan nantinya.”

Aku tahu bahwa jalan yang aku lalui ini bukanlah jalan Tol yang tanpa terjal dan liku yang berlebihan. Jalan yang aku tempuh adalah jalan orang awam yang tak tahu ada apa di depan sana. Hingga akhirnya aku temukan segalan persoalan dan permasalahan yang menghiasi disetiap sendi-sendi ceritanya. Ini bukan hanya tentang bagaimana aku melewati setiap gerbang semesternya, tapi aku ini juga tentang bagaimana aku melewati gerbang terakhir. Gerbang yang menjadi momok menakutkan bagi para Matelu (Mahasiswa Telat Lulus).

Ya, Matelu adalah salah satu spesies yang tidak tau malu, tebal muka, kuat telinga, lapang dada. Tebal muka didepan adik-adik tingkat yang lulus duluan, kuat telinga saat dijadikan omongan dosen, lapang dada ketika satu persatu teman seangkatan meninggalkan kita sendirian. “Telat lulus itu memang bukan sebuah aib. Iya, bukan aib pribadi, tapi aib keluarga, hahaha” (cit CAK, 2015).

Menghadapi tumpukan kertas bertinta hitam itu bukanlah hal yang mudah, ketika kita harus bergelut dengan diri sendiri. Banyak hal yang bisa menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan kita untuk segera menyelesaikan atau nantikan saja dulu tanggal mainnya. Namun percayalah faktor utama dari itu semua hanyalah satu, yaitu diri sendiri.

Terkadang kita harus bergulat dengan kondisi, ketika kita sudah semangat, eh Taunya dosennya yang ngoyot. Ketika dosen sudah mengejar, eh kitanya menghilang. Hingga akhirnya keduanya saling berdiam tanpa sapa kata dalam pesan. Menurutmu siapa yang salah diposisi ini? Ya, tentu saja diri kita. Apa kita bisa menyalahkan orang lain? Tentu saja tidak. Karena semua kendali ada pada diri kita sendiri. Seperti kalimat yang tertulis dalam buku Filosofi Teras yang berbunyi ……. Ah, lupa, nanti kalian bisa baca sendiri aja deh di bukunya, wkwkwk. *dikeplak pembaca

Hingga pada akhirnya aku tersadar pada perjanjian yang aku buat bersama ibu ku. “Kamu tidak boleh pulang sebelum lulus.”

Hanya dengan satu kalimat itu menjadi bekal utamaku untuk melangkah. Meski masa sudah di ujung tanduk. Tapi saat ini yang bisa aku lakukan hanya satu, yaitu terus berjalan hingga Allah berkata “Sudah cukup, waktumu sudah habis.”

Menurutmu aku sudah sampai pada tahap mana hingga mengatakan diujung tanduk? Ya, aku sudah mendapatkan surat peringatan untuk kesekian kalinya, hingga akhirnya sampai pada surat yang memerintahkanku untuk mengajukan surat pengunduran diri jika tidak bisa menyelesaikan tugas akhirku tersebut.

Jika jalan masuk kampus ada dua pilihan utama yaitu lewat jalur depan atau jalur belakang, maka jalan keluar dari kampus secara umum ada beberapa jenisnya. Pertama jalur utama yaitu dengan gerbang yang sama seperti jalan dimana kita masuk pada sisi yang berbeda atau lebih tepatnya dengan menyelesaikan tugas akhir hingga akhir. Yang kedua mundur teratur dengan cara baik-baik, yaitu dengan mengajukan surat pengunduran diri. Cara ini akan lebih bijak dan memungkinkan kita untuk meneruskan studi pada waktu dan tempat lain. Yang ketiga yaitu drop out (DO), ini adalah jalan yang sering ditempuh bagi para mahasiswa yang sudah terlanjur malu atau memang sudah tidak peduli dengan studinya. Dan yang terakhir yaitu pergi dan tak mungkin kembali (mati), maka secara otomatis status mahasiswa ini akan keluar dengan cara terbaik-Nya.

Bagiku, selama masih ada jalan yang baik, maka jalan itulah yang akan aku pilih. Meski kata orang “Fa, mengapa tidak minta orang saja yang mengerjakannya, cukup membayar berapa persen, kita sudah terima beres.” Hey kawan, percayalah, tidak semua apa yang atas nama adalah hasil karyanya. Terkadang ada yang hanya menumpang nama, atau hanya bertanda tangan. Itu semua sudah menjadi hal yang biasa, tapi bagiku, sebuah karya baik atau buruk adalah sebuah karya. So, tulislah namamu seperti itu kau mengakui karyamu.

Entah berapa beruntungnya diriku yang masih diberi dosen-dosen yang baik meski terkadang membuatku bimbang, tapi setidaknya mereka masih mau menemaniku hingga titik akhir. Dan begitulah akhirnya semua apa yang aku perjuangkan sampailah pada layar berwajah suram. Mempertanggung jawabkan atas apa yang sudah diperjuangkan hingga titik ini. Sampailah pada tahap akhir yang menegangkan.

“Mbak Fafa.”

“Iya, Bu.”

“Apa mbak Fafa sudah puasa dengan apa yang dipresentasikan?”

“Emmm, menurut saya ini adalah usaha maksimal saya, Bu.”

“Jika mbak Fafa harus mengulang kembali untuk presentasi, apa mbak Fafa siap?”

“Jika memang itu kebijakan dari para penguji dan prodi, insyaallah saya usahakan, Bu.”

Sejujurnya pada titik ini aku sudah tidak sanggup lagi untuk berjuang. Terlalu berat untukku melangkahkan kaki kembali pada kotak hitam itu. Ya, aku membuat kotak-kotak pada setiap fase perjalanan tugas akhirku. Kotak pertama atau kotak hijau adalah seminar proposal, kotak kedua atau kotak kuning adalah uji etik, kotak ketiga atau kotak orange adalah uji kuesioner, kotak ke empat atau kotak merah adalah ujian hasil, dan kotak yang terakhir atau kotak hitam adalah ujian tertutup. Jika aku mati pada kotak hitam, maka aku sudah tidak bisa bangkit lagi.

Hingga akhirnya beliau berkata. “Jika kami memberi mbak nilai A, apa mbak Fafa mau menerimanya?”

“………” Aku tak bisa berkata apapun lagi. Hanya tangisan yang tak bisa kubendung lagi. Bagaimana mungkin aku mengharapkan nilai A, sedangkan kata lulus bagiku saja sudah sangat tak mungkin bisa kuharapkan sebesar itu.

“Bagaimana mbak Fafa, apa mbak Fafa mau menerima nilai tersebut.”

“Iya Bu, iya, terima kasih Bu.” Dengan tangis yang tak berhenti.

“Baik, jadi sekarang mbak Fafa sudah tidak perlu mengulang lagi ya, mbak sudah kami nyatakan lulus dengan nilai A.” kata ketua dewan penguji dengan senyum merekahnya, setelah wajah tegang yang mempertanyakan tentangku yang bersediakah untuk mengulang presentasi kembali dilain waktu.

“Terima kasih, Bu, terima kasih.”

Tak henti-hentinya kuucapkan syukur seraya bermunajat kepada-Nya.

Secepatnya aku sampaikan kabar bahagia itu pada kedua orang tuaku dalam video call. Tangis haru mewarnai siang itu. Satu persatu ucapan syukur dan selamat datang dari teman-teman kerja ibu. Tak tertinggalpun kukabari kakak, dan adikku. Akhirnya aku menuntaskan apa yang sudah aku janjikan pada ibu ku.

Dan setelah semua urusan penting di sini kuselesaikan, menyampaikan kata perpisahan pada teman-teman tersayang yang masih tetap tinggal. Peluk hangat dari keluarga tak sedarah. Akhirnya aku pun memesan tiket kepulangan. Tiket pesawat perjalanan dari bandaran YIA menuju ke bandara Hasannudin, lalu ke pandara Pattimura. Bandara adalah salah satu tempat spesial di hatiku. Karena di tempat inilah jalanku menuju kata “Pulang.”

“Mak, akhirnya anakmu pulang.”

Komentar