Katanya
“Ada kenalan tidak di kampus itu, coba saja komunikasi dengan orang dalam, agar
dimudahkan untuk masuknya, Fa.”
Siap
bilang bahwa jalan masuk kampus itu hanya ada satu pilihan, percayalah, masih
banyak jalan lain yang bisa kau lalui. Tapi pertanyaannya sekarang, apa kamu
mau lewat jalan belakang, ketika orang yang menjadi panutanmu saja tak
mengajarkan itu.
Kataku
“Jika jalan yang kutempuh sejak awal sudah tidak baik, bagaimana hasil yang
akan aku dapatkan nantinya.”
Aku
tahu bahwa jalan yang aku lalui ini bukanlah jalan Tol yang tanpa terjal dan
liku yang berlebihan. Jalan yang aku tempuh adalah jalan orang awam yang tak tahu
ada apa di depan sana. Hingga akhirnya aku temukan segalan persoalan dan
permasalahan yang menghiasi disetiap sendi-sendi ceritanya. Ini bukan hanya
tentang bagaimana aku melewati setiap gerbang semesternya, tapi aku ini juga
tentang bagaimana aku melewati gerbang terakhir. Gerbang yang menjadi momok
menakutkan bagi para Matelu (Mahasiswa Telat Lulus).
Ya,
Matelu adalah salah satu spesies yang tidak tau malu, tebal muka, kuat telinga,
lapang dada. Tebal muka didepan adik-adik tingkat yang lulus duluan, kuat
telinga saat dijadikan omongan dosen, lapang dada ketika satu persatu teman
seangkatan meninggalkan kita sendirian. “Telat
lulus itu memang bukan sebuah aib. Iya, bukan aib pribadi, tapi aib keluarga,
hahaha” (cit CAK, 2015).
Menghadapi
tumpukan kertas bertinta hitam itu bukanlah hal yang mudah, ketika kita harus
bergelut dengan diri sendiri. Banyak hal yang bisa menjadi faktor yang
mempengaruhi keputusan kita untuk segera menyelesaikan atau nantikan saja dulu
tanggal mainnya. Namun percayalah faktor utama dari itu semua hanyalah satu,
yaitu diri sendiri.
Terkadang
kita harus bergulat dengan kondisi, ketika kita sudah semangat, eh Taunya dosennya
yang ngoyot. Ketika dosen sudah mengejar, eh kitanya menghilang. Hingga akhirnya
keduanya saling berdiam tanpa sapa kata dalam pesan. Menurutmu siapa yang salah
diposisi ini? Ya, tentu saja diri kita. Apa kita bisa menyalahkan orang lain? Tentu
saja tidak. Karena semua kendali ada pada diri kita sendiri. Seperti kalimat yang
tertulis dalam buku Filosofi Teras yang berbunyi ……. Ah, lupa, nanti kalian
bisa baca sendiri aja deh di bukunya, wkwkwk. *dikeplak pembaca
Hingga
pada akhirnya aku tersadar pada perjanjian yang aku buat bersama ibu ku. “Kamu
tidak boleh pulang sebelum lulus.”
Hanya
dengan satu kalimat itu menjadi bekal utamaku untuk melangkah. Meski masa sudah
di ujung tanduk. Tapi saat ini yang bisa aku lakukan hanya satu, yaitu terus
berjalan hingga Allah berkata “Sudah cukup, waktumu sudah habis.”
Menurutmu
aku sudah sampai pada tahap mana hingga mengatakan diujung tanduk? Ya, aku
sudah mendapatkan surat peringatan untuk kesekian kalinya, hingga akhirnya
sampai pada surat yang memerintahkanku untuk mengajukan surat pengunduran diri
jika tidak bisa menyelesaikan tugas akhirku tersebut.
Jika
jalan masuk kampus ada dua pilihan utama yaitu lewat jalur depan atau jalur
belakang, maka jalan keluar dari kampus secara umum ada beberapa jenisnya. Pertama
jalur utama yaitu dengan gerbang yang sama seperti jalan dimana kita masuk pada
sisi yang berbeda atau lebih tepatnya dengan menyelesaikan tugas akhir hingga
akhir. Yang kedua mundur teratur dengan cara baik-baik, yaitu dengan mengajukan
surat pengunduran diri. Cara ini akan lebih bijak dan memungkinkan kita untuk
meneruskan studi pada waktu dan tempat lain. Yang ketiga yaitu drop out (DO), ini adalah jalan yang
sering ditempuh bagi para mahasiswa yang sudah terlanjur malu atau memang sudah
tidak peduli dengan studinya. Dan yang terakhir yaitu pergi dan tak mungkin
kembali (mati), maka secara otomatis status mahasiswa ini akan keluar dengan
cara terbaik-Nya.
Bagiku,
selama masih ada jalan yang baik, maka jalan itulah yang akan aku pilih. Meski kata
orang “Fa, mengapa tidak minta orang saja yang mengerjakannya, cukup membayar
berapa persen, kita sudah terima beres.” Hey kawan, percayalah, tidak semua apa
yang atas nama adalah hasil karyanya. Terkadang ada yang hanya menumpang nama,
atau hanya bertanda tangan. Itu semua sudah menjadi hal yang biasa, tapi
bagiku, sebuah karya baik atau buruk adalah sebuah karya. So, tulislah namamu
seperti itu kau mengakui karyamu.
Entah
berapa beruntungnya diriku yang masih diberi dosen-dosen yang baik meski
terkadang membuatku bimbang, tapi setidaknya mereka masih mau menemaniku hingga
titik akhir. Dan begitulah akhirnya semua apa yang aku perjuangkan sampailah
pada layar berwajah suram. Mempertanggung jawabkan atas apa yang sudah
diperjuangkan hingga titik ini. Sampailah pada tahap akhir yang menegangkan.
“Mbak
Fafa.”
“Iya,
Bu.”
“Apa
mbak Fafa sudah puasa dengan apa yang dipresentasikan?”
“Emmm,
menurut saya ini adalah usaha maksimal saya, Bu.”
“Jika
mbak Fafa harus mengulang kembali untuk presentasi, apa mbak Fafa siap?”
“Jika
memang itu kebijakan dari para penguji dan prodi, insyaallah saya usahakan, Bu.”
Sejujurnya
pada titik ini aku sudah tidak sanggup lagi untuk berjuang. Terlalu berat
untukku melangkahkan kaki kembali pada kotak hitam itu. Ya, aku membuat
kotak-kotak pada setiap fase perjalanan tugas akhirku. Kotak pertama atau kotak
hijau adalah seminar proposal, kotak kedua atau kotak kuning adalah uji etik,
kotak ketiga atau kotak orange adalah
uji kuesioner, kotak ke empat atau kotak merah adalah ujian hasil, dan kotak
yang terakhir atau kotak hitam adalah ujian tertutup. Jika aku mati pada kotak
hitam, maka aku sudah tidak bisa bangkit lagi.
Hingga
akhirnya beliau berkata. “Jika kami memberi mbak nilai A, apa mbak Fafa mau
menerimanya?”
“………”
Aku tak bisa berkata apapun lagi. Hanya tangisan yang tak bisa kubendung lagi. Bagaimana
mungkin aku mengharapkan nilai A, sedangkan kata lulus bagiku saja sudah sangat
tak mungkin bisa kuharapkan sebesar itu.
“Bagaimana
mbak Fafa, apa mbak Fafa mau menerima nilai tersebut.”
“Iya
Bu, iya, terima kasih Bu.” Dengan tangis yang tak berhenti.
“Baik,
jadi sekarang mbak Fafa sudah tidak perlu mengulang lagi ya, mbak sudah kami
nyatakan lulus dengan nilai A.” kata ketua dewan penguji dengan senyum
merekahnya, setelah wajah tegang yang mempertanyakan tentangku yang bersediakah
untuk mengulang presentasi kembali dilain waktu.
“Terima
kasih, Bu, terima kasih.”
Tak
henti-hentinya kuucapkan syukur seraya bermunajat kepada-Nya.
Secepatnya
aku sampaikan kabar bahagia itu pada kedua orang tuaku dalam video call. Tangis
haru mewarnai siang itu. Satu persatu ucapan syukur dan selamat datang dari
teman-teman kerja ibu. Tak tertinggalpun kukabari kakak, dan adikku. Akhirnya aku
menuntaskan apa yang sudah aku janjikan pada ibu ku.
Dan
setelah semua urusan penting di sini kuselesaikan, menyampaikan kata perpisahan
pada teman-teman tersayang yang masih tetap tinggal. Peluk hangat dari keluarga
tak sedarah. Akhirnya aku pun memesan tiket kepulangan. Tiket pesawat perjalanan
dari bandaran YIA menuju ke bandara Hasannudin, lalu ke pandara Pattimura.
Bandara adalah salah satu tempat spesial di hatiku. Karena di tempat inilah
jalanku menuju kata “Pulang.”
“Mak, akhirnya anakmu pulang.”

Komentar
Posting Komentar