Ternyata
keahlianku sebagai detektif dalam mencari sesuatu sangat luar biasa.
Sampai-sampai suatu ketika, saat aku sedang asik berkecimpung di oragnisasi,
aku pun mulai penasaran pada salah satu teman di organisasi tersebut. Dan, akhirnya
aku melacak semua akun miliknya. Kubuka semua postingan miliknya dari awal dia
memposting.
“Hmmm,
sepertinya dia jomblo. Ok, lanjut.” Gumamku.
Kata
orang kita akan mengenal seseorang itu bukan dari dia, tapi dari keluarganya,
dari teman-teman dan lingkungannya. Aku pun mencari akun milik saudaranya,
sampai-sampai aku menemukan blogspot catatan milik kakaknya. Jariku semakin
lihai membuka semua tulisan yang ada di postingan itu. *dasar penguntit
“Wah,
keren, kakaknya kuliah di luar negeri, S2 pula. Keren banget sih ini. Yakin
deh.” Lagi-lagi aku mulai menyanjungnya ketika membaca cerita bagian khusus
miliknya. “Ternyata dia pernah kecelakaan hingga dirawat di ICU. Luar biasa
sekali dia dengan cerita persaudaraannya.”
Apalah
hati ini, dasar lemah. Hanya sekedar membaca cerita seperti ini saja aku
langsung tertarik padanya. Yang benar saja, aku tak pernah mengharapkan orang
lain memperlakukanku dengan baik, tapi aku sangat tertarik pada orang itu
ketika dia memperlakukan orang lain dengan sangat baik.
Hingga
akhirnya negara api menyerang dan membuat hatiku terombang-ambing di atas
lautan tanpa nahkoda. Dia datang entah dari mana. Bulan namanya. Hadirnya
tiba-tiba merebut semua perhatiannya dariku.
“Mbak,
saya di Pos Satpam dengan Bulan. Saya hanya mendengarkan cerita Bulan.” Pesan singkat
darinya lewat chat whatsapp setelah aku melihatnya berduaan
dengan Bulan.
Ya,
sebut saja namanya Riki, salah satu teman organisasiku. Orang yang sudah
merebut perhatianku. Dia begitu sangat sopan padaku. Bahkan usiaku ada
dibawahnya, tapi dia tetap memanggilku dengan sebutan mbak. Entah ini suatu
perhormata atau bentuk jaga jaraknya. Sedangkan beberapa teman organisasi yang
lain dengan begitu santai dia hanya memanggil nama saja.
Aku
yang lemah ini membaca pesan itu dengan cara berbeda. Apakah dia merasa
khawatir jika aku cemburu? Jadi dia mengirimkan pesan untuk menjelaskan kondisi saat itu. Sungguh, tak ada sedikitpun rasa cemburuku padanya. Aku
paham betul dengan kondisinya, Bulan butuh tempat untuk bercerita kepada
orang yang ia percaya.
Namun
semua pikiran itu tak berjalan begitu lama, hingga akhirnya kesalahpahamanku
pun terjawab ketika dia menjelaskan kembali maksud dari pesan yang pernah
dikirimkannya padaku saat itu.
“Saya
waktu itu menyampaikan pesan kepada Mbak, saya pikir jangan sampai ada informasi
salah yang tersebar ke orang lain.”
Oh
Tuhan, dia menganggapku apa? Mulut ember? Atau apa? Sungguh, tak pernah terpikirkan
di otakku bahwa seperti itulah aku di matanya.
Tapi
rasa tetaplah rasa. Meski sudah tersakiti berkali-kali, rasa tetap masih tersimpan
dengan rapi untuknya.
Hingga
suatu ketika aku tersadar. Dia tak pernah mau memanggil nama ku tanpa sebutan
Mbak. Dia menjaga jarak dengaku meski hampir setiap hari kami saling membalas
canda lewat chat whatsapp. Aku harus
memastikan dimana posisiku saat ini.
“Mas,
izinkan aku meminta bantuan kepada, Mas. Tolong mulai sekarang bantu aku untuk
menahan rasa ketertarikanku pada Mas.”
Ini
mungkin semacam bentuk penolakan sebelum ditembak, atau lebih tepatnya tidak
akan pernah ditembak. Sedangkan dia hanya mempertanyakan tentang persahatan
kami.
“Saya
menganggap Mbak sebagai sahabat saya.”
“Tidak
Mas, saya tidak mau bersahabat dengan Mas. Sudah banyak sahabat yang saya
punya. Saya maunya lebih dari sahabat. Mas harus bertanggungjawab dengan
perasaan saya.”
“Tapi
kan…”
Ok,
sorry-sorry, sebenarnya percakapannya bukan seperti itu. *dikeplak pembaca
“Tidak
Mas. Bagi saya, sahabat adalah orang yang bisa membawa saya menuju Jannah-Nya.
Dia adalah Akhwat yang solehah. Atau jika dia Ikhwan, maka dia adalah imam yang
mau membimbing saya, Mas.”
“Lalu
bagaimana dengan kita, Mbak?.”
“Kita
tetap masih bisa berteman. Mas bisa mengirim pesan jika memang benar-benar
penting untuk berdiskusi atau yang lainnya.”
Percakapan
itupun berakhir dengan baik, meski hatiku pada akhirnya tidak baik-baik saja.
Bagaimana mungkin tidak, jika hati ini masih sangat mengharapkannya, sedangkan
sudah jelas baginya aku hanyalah seorang sahabat yang tidak akan pernah bisa
lebih dari itu.
■
■ ■
Beberapa
bulan setelah ia lulus dan pulang ke kampung halamannya.
“Barakallah
Bang, semoga dilancarkan untuk esok ...”
Pesan
singkat terlihat di grup alumni organisasi itu. Aku pun membuka isi grup.
Begitu banyak yang mengucapkan doa untuknya. Ya, dia, Riki mengirim kabar
bahagia untuk teman-teman di grup. Dia akan melangsungkan pernikahan pada weekend ini dengan seorang akhwat yang
berasal dari daerahnya.
Memang benar kataku Bagaimana mungkin aku mengharapkan seseorang yang bahkan aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang ada di belakang cerita hidupnya. Mungkin saja perjuangannya untuk menghalalkan seseoarang yang sudah menjadi jodohnya, jauh lebih berharga dari pada rasa ketertarikanku padanya. Mungkin saja perjuangan jodoh yang sudah menantikannya, jauh lebih bermakna dari pada semua waktu yang kuhabiskan bersamanya.
Dan inilah akhir dari rasa yang tersimpan dengan rapi di dalam hatiku. Kulepas dengan ikhlas segala yang telah terjadi. Semoga kau bahagia bersamanya, begitupun aku dan masa depanku.

Komentar
Posting Komentar