TEMAN TAPI DEMEN (CAM #7)



Ternyata keahlianku sebagai detektif dalam mencari sesuatu sangat luar biasa. Sampai-sampai suatu ketika, saat aku sedang asik berkecimpung di oragnisasi, aku pun mulai penasaran pada salah satu teman di organisasi tersebut. Dan, akhirnya aku melacak semua akun miliknya. Kubuka semua postingan miliknya dari awal dia memposting.

“Hmmm, sepertinya dia jomblo. Ok, lanjut.” Gumamku.

Kata orang kita akan mengenal seseorang itu bukan dari dia, tapi dari keluarganya, dari teman-teman dan lingkungannya. Aku pun mencari akun milik saudaranya, sampai-sampai aku menemukan blogspot catatan milik kakaknya. Jariku semakin lihai membuka semua tulisan yang ada di postingan itu. *dasar penguntit

“Wah, keren, kakaknya kuliah di luar negeri, S2 pula. Keren banget sih ini. Yakin deh.” Lagi-lagi aku mulai menyanjungnya ketika membaca cerita bagian khusus miliknya. “Ternyata dia pernah kecelakaan hingga dirawat di ICU. Luar biasa sekali dia dengan cerita persaudaraannya.”

Apalah hati ini, dasar lemah. Hanya sekedar membaca cerita seperti ini saja aku langsung tertarik padanya. Yang benar saja, aku tak pernah mengharapkan orang lain memperlakukanku dengan baik, tapi aku sangat tertarik pada orang itu ketika dia memperlakukan orang lain dengan sangat baik.

Hingga akhirnya negara api menyerang dan membuat hatiku terombang-ambing di atas lautan tanpa nahkoda. Dia datang entah dari mana. Bulan namanya. Hadirnya tiba-tiba merebut semua perhatiannya dariku.

“Mbak, saya di Pos Satpam dengan Bulan. Saya hanya mendengarkan cerita Bulan.” Pesan singkat darinya lewat chat whatsapp setelah aku melihatnya berduaan dengan Bulan.

Ya, sebut saja namanya Riki, salah satu teman organisasiku. Orang yang sudah merebut perhatianku. Dia begitu sangat sopan padaku. Bahkan usiaku ada dibawahnya, tapi dia tetap memanggilku dengan sebutan mbak. Entah ini suatu perhormata atau bentuk jaga jaraknya. Sedangkan beberapa teman organisasi yang lain dengan begitu santai dia hanya memanggil nama saja.

Aku yang lemah ini membaca pesan itu dengan cara berbeda. Apakah dia merasa khawatir jika aku cemburu? Jadi dia mengirimkan pesan untuk menjelaskan kondisi saat itu. Sungguh, tak ada sedikitpun rasa cemburuku padanya. Aku paham betul dengan kondisinya, Bulan butuh tempat untuk bercerita kepada orang yang ia percaya.

Namun semua pikiran itu tak berjalan begitu lama, hingga akhirnya kesalahpahamanku pun terjawab ketika dia menjelaskan kembali maksud dari pesan yang pernah dikirimkannya padaku saat itu.

“Saya waktu itu menyampaikan pesan kepada Mbak, saya pikir jangan sampai ada informasi salah yang tersebar ke orang lain.”

Oh Tuhan, dia menganggapku apa? Mulut ember? Atau apa? Sungguh, tak pernah terpikirkan di otakku bahwa seperti itulah aku di matanya.

Tapi rasa tetaplah rasa. Meski sudah tersakiti berkali-kali, rasa tetap masih tersimpan dengan rapi untuknya.

Hingga suatu ketika aku tersadar. Dia tak pernah mau memanggil nama ku tanpa sebutan Mbak. Dia menjaga jarak dengaku meski hampir setiap hari kami saling membalas canda lewat chat whatsapp. Aku harus memastikan dimana posisiku saat ini.

“Mas, izinkan aku meminta bantuan kepada, Mas. Tolong mulai sekarang bantu aku untuk menahan rasa ketertarikanku pada Mas.”

Ini mungkin semacam bentuk penolakan sebelum ditembak, atau lebih tepatnya tidak akan pernah ditembak. Sedangkan dia hanya mempertanyakan tentang persahatan kami.

“Saya menganggap Mbak sebagai sahabat saya.”

“Tidak Mas, saya tidak mau bersahabat dengan Mas. Sudah banyak sahabat yang saya punya. Saya maunya lebih dari sahabat. Mas harus bertanggungjawab dengan perasaan saya.”

“Tapi kan…”

Ok, sorry-sorry, sebenarnya percakapannya bukan seperti itu. *dikeplak pembaca

“Tidak Mas. Bagi saya, sahabat adalah orang yang bisa membawa saya menuju Jannah-Nya. Dia adalah Akhwat yang solehah. Atau jika dia Ikhwan, maka dia adalah imam yang mau membimbing saya, Mas.”

“Lalu bagaimana dengan kita, Mbak?.”

“Kita tetap masih bisa berteman. Mas bisa mengirim pesan jika memang benar-benar penting untuk berdiskusi atau yang lainnya.”

Percakapan itupun berakhir dengan baik, meski hatiku pada akhirnya tidak baik-baik saja. Bagaimana mungkin tidak, jika hati ini masih sangat mengharapkannya, sedangkan sudah jelas baginya aku hanyalah seorang sahabat yang tidak akan pernah bisa lebih dari itu.

■ ■ ■

Beberapa bulan setelah ia lulus dan pulang ke kampung halamannya.

“Barakallah Bang, semoga dilancarkan untuk esok ...”

Pesan singkat terlihat di grup alumni organisasi itu. Aku pun membuka isi grup. Begitu banyak yang mengucapkan doa untuknya. Ya, dia, Riki mengirim kabar bahagia untuk teman-teman di grup. Dia akan melangsungkan pernikahan pada weekend ini dengan seorang akhwat yang berasal dari daerahnya.

Memang benar kataku Bagaimana mungkin aku mengharapkan seseorang yang bahkan aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang ada di belakang cerita hidupnya. Mungkin saja perjuangannya untuk menghalalkan seseoarang yang sudah menjadi jodohnya, jauh lebih berharga dari pada rasa ketertarikanku padanya. Mungkin saja perjuangan jodoh yang sudah menantikannya, jauh lebih bermakna dari pada semua waktu yang kuhabiskan bersamanya.

Dan inilah akhir dari rasa yang tersimpan dengan rapi di dalam hatiku. Kulepas dengan ikhlas segala yang telah terjadi. Semoga kau bahagia bersamanya, begitupun aku dan masa depanku.

Komentar