PILIHAN ABANG (CAM #2)

Jalan paving ini membawaku menuju satu gedung yang akan menjadi tempat berjuangku selama kuliah di sini. Mataku mulai menjelajah ke kanan dan ke kiri.

Upsss, siapa tuh? Gadis berkerudung cokelat dengan tas ranselnya yang cantik. Berjalan berseberangan menuju ke arah yang sama denganku.

Tunggu, kenapa dia membuka pintu itu? Itu kan juga pintu ruang yang aku tuju. Daebak ternyata kami berada di ruang kelas yang sama. Ok fix, kita akan jadi teman baik.

Satu persatu kursi mulai terisi. Pembekalan kelaspun dimulai.

Yang benar saja, ternyata satu kelas sebanyak ini masih dibagi menjadi tiga kelas peminatan. Aku? Aku dipeminatan mana? Tentu saja peminatan anak dong.

Kenapa harus peminatan anak? Soalnya aku suka anak. Anak tuh lucu tahu, kayak aku. *dilempar sendal

Ok fine, aku jelasin deh. Sebenarnya aku lebih memilih peminatan jiwa, tapi kata emak.

“Jangan, Mamak nggak mau nanti kamu ikutan gangguan jiwa. Kasihan anakmu nanti.”

“Tapi kan Mak…”

“Udah nggak ada tapi-tapian. Kan ada pilihan lain.”

Abangku pun menyahut.

“Pilih saja peminatan anak. Kamu kan suka sama anak kecil, Fa.”

“Hmmm, baiklah.”

Dan begitulah, akhirnya aku memilih apa yang dipilih abangku. Biar apa? Biar kalau nanti aku gagal, aku bisa nyalahin abangku. Ok, aku memang hebat. *dilempar sepatu sama abang

■ ■ ■

Setelah ditolak oleh dua kampus ternama, akhirnya aku diterima juga menjadi mahasiswa di kampus favorit. Walaupun masih ragu juga sih.

“Jangan-jangan mereka salah pilih. Jangan-jangan ada peserta ujian yang namanya sama denganku.”

Wajar sekali jika aku berfikiran seperti itu. Bagaimana tidak jika dua kampus yang menolakku adalah kampus ternama. Iya itu loh kampus negeri yang ada di kota Surabaya dan Semarang. You know kan kampus yang aku maksud.

Ah ditolak tuh sudah jadi hal yang biasa untukku.

But, inilah saatnya membuktikan bahwa aku yang dari pelosok timur Indonesia ternyata juga bisa diterima di kampus favorit kota Jogja loh. Kamu sendiri bagaimana? Masih takut untuk mencoba hal baru?

■ ■ ■

Kembali lagi ke ruang pembekalan kelas.

“Baik mas-mas dan mbak-mbak mahasiswa, sebelum mengakhiri pembekalan hari ini, silahkan kalian memilih siapa yang akan menjadi koordinator angkatan. Atau mungkin ada yang ingin mengajukan diri?”

Seketika semua hening, seperti ada hantu yang lewat di antara kami.

Perlaha, satu persatu sepasang mata saling menatap, mencari-cari siapa yang cocok untuk menjadi koordinator. Sedangkan mataku mulai menjelajahi ruang kelas, hanya untuk mencari tampang-tampang tampan nan rupawan.

Aha ketemu, di sana, yang duduk di pojok belakang. Cakep. Mataku tertuju padamu, Bang. Si Abang yang beralis tebal, tinggi, gagah, putih, ganteng pula. Calon imam yang ideal deh. *mataku keculek gagang pena

Tiba-tiba seorang mahasiswa mengangkat tangan dan berkata.

“Saya saja Bu.”

Suara yang menggelegar itu membuyarkan pikiranku yang sedang menikmati ciptaan Tuhan yang Maha Sempurna.

Seketika pandanganku berputar 15ยบ mengarah ke mahasiswa yang mengajukan diri itu. Hmmm sepertinya memang dia yang lebih cocok jadi koordinator angkatan. Tubuhnya yang besar, dan tinggi. Aku yakin, pasti jika ada iuran kelas langsung pada bayar semua. Tidak ada lagi yang bisa mengalahkannya.

Entah apa yang menjadi alasan dia mengajukan diri menjadi koordinator. Bukankah menjadi koordinator itu menyusahkan? Terlebih koordinator satu angkatan pula.

Hingga akhirnya aku tahu mengapa dia mengangkat tangan saat itu.

“Habis nggak ada yang mau. Dari pada kita berlama-lama di kelas. Lagi pula waktu itu kan sudah sore. Aku lupa cucian bajuku belum kujemur. Jadi harus buru-buru pulang.”

Oh Tuhan, alasan macam apa ini. Mau dibawa kemana masa depan kami dipimpin koordinator seperti ini. Eh, tapi aku juga nggak mau mengkritik deh. Bukankah orang yang mau mengkritik juga harus siap memimpin.


■ ■ ■

Oh iya, namanya Kia. Ia, itu loh gadis berkerudung cokelat susu yang aku lihat di jalan paving waktu itu. Dia tuh udah cantik, baik, pintar pula.

“Iya Fa, jadi nanti yang ini bisa dirubah jadi gini.” Sambil ngotak-aktik leptopku.

“Wah gitu ya. Kalau yang ini?”

“Yang ini juga sama. Coba deh kamu rubah seperti yang aku ajarkan tadi.”

“Ok, aku coba deh. Thanks ya, Ki. Udah mau ngajarin aku yang gaptek ini.” Anak desa yang baru mengenal teknologi informasi yang serba canggih.

Komentar