Jalan
paving ini membawaku menuju satu
gedung yang akan menjadi tempat berjuangku selama kuliah di sini. Mataku mulai
menjelajah ke kanan dan ke kiri.
Upsss,
siapa tuh? Gadis berkerudung cokelat dengan tas ranselnya yang cantik. Berjalan
berseberangan menuju ke arah yang sama denganku.
Tunggu,
kenapa dia membuka pintu itu? Itu kan juga pintu ruang yang aku tuju. Daebak ternyata kami berada di ruang
kelas yang sama. Ok fix, kita akan jadi teman baik.
Satu
persatu kursi mulai terisi. Pembekalan kelaspun dimulai.
Yang
benar saja, ternyata satu kelas sebanyak ini masih dibagi menjadi tiga kelas
peminatan. Aku? Aku dipeminatan mana? Tentu saja peminatan anak dong.
Kenapa
harus peminatan anak? Soalnya aku suka anak. Anak tuh lucu tahu, kayak aku.
*dilempar sendal
Ok fine, aku jelasin deh. Sebenarnya aku
lebih memilih peminatan jiwa, tapi kata emak.
“Jangan,
Mamak nggak mau nanti kamu ikutan gangguan jiwa. Kasihan anakmu nanti.”
“Tapi
kan Mak…”
“Udah
nggak ada tapi-tapian. Kan ada pilihan lain.”
Abangku
pun menyahut.
“Pilih
saja peminatan anak. Kamu kan suka sama anak kecil, Fa.”
“Hmmm,
baiklah.”
Dan
begitulah, akhirnya aku memilih apa yang dipilih abangku. Biar apa? Biar kalau
nanti aku gagal, aku bisa nyalahin abangku. Ok, aku memang hebat. *dilempar
sepatu sama abang
■ ■ ■
Setelah
ditolak oleh dua kampus ternama, akhirnya aku diterima juga menjadi mahasiswa
di kampus favorit. Walaupun masih ragu juga sih.
“Jangan-jangan
mereka salah pilih. Jangan-jangan ada peserta ujian yang namanya sama
denganku.”
Wajar
sekali jika aku berfikiran seperti itu. Bagaimana tidak jika dua kampus yang
menolakku adalah kampus ternama. Iya itu loh kampus negeri yang ada di kota
Surabaya dan Semarang. You know kan
kampus yang aku maksud.
Ah
ditolak tuh sudah jadi hal yang biasa untukku.
But,
inilah saatnya membuktikan bahwa aku yang dari pelosok timur Indonesia ternyata
juga bisa diterima di kampus favorit kota Jogja loh. Kamu sendiri bagaimana?
Masih takut untuk mencoba hal baru?
■ ■ ■
Kembali
lagi ke ruang pembekalan kelas.
“Baik
mas-mas dan mbak-mbak mahasiswa, sebelum mengakhiri pembekalan hari ini,
silahkan kalian memilih siapa yang akan menjadi koordinator angkatan. Atau
mungkin ada yang ingin mengajukan diri?”
Seketika
semua hening, seperti ada hantu yang lewat di antara kami.
Perlaha,
satu persatu sepasang mata saling menatap, mencari-cari siapa yang cocok untuk
menjadi koordinator. Sedangkan mataku mulai menjelajahi ruang kelas, hanya
untuk mencari tampang-tampang tampan nan rupawan.
Aha
ketemu, di sana, yang duduk di pojok belakang. Cakep. Mataku tertuju padamu, Bang.
Si Abang yang beralis tebal, tinggi, gagah, putih, ganteng pula. Calon imam
yang ideal deh. *mataku keculek gagang pena
Tiba-tiba
seorang mahasiswa mengangkat tangan dan berkata.
“Saya
saja Bu.”
Suara
yang menggelegar itu membuyarkan pikiranku yang sedang menikmati ciptaan Tuhan
yang Maha Sempurna.
Seketika
pandanganku berputar 15ยบ mengarah ke mahasiswa yang mengajukan diri itu. Hmmm
sepertinya memang dia yang lebih cocok jadi koordinator angkatan. Tubuhnya yang
besar, dan tinggi. Aku yakin, pasti jika ada iuran kelas langsung pada bayar
semua. Tidak ada lagi yang bisa mengalahkannya.
Entah
apa yang menjadi alasan dia mengajukan diri menjadi koordinator. Bukankah
menjadi koordinator itu menyusahkan? Terlebih koordinator satu angkatan pula.
Hingga
akhirnya aku tahu mengapa dia mengangkat tangan saat itu.
“Habis
nggak ada yang mau. Dari pada kita berlama-lama di kelas. Lagi pula waktu itu
kan sudah sore. Aku lupa cucian bajuku belum kujemur. Jadi harus buru-buru
pulang.”
Oh Tuhan, alasan macam apa ini. Mau dibawa kemana masa depan kami dipimpin koordinator seperti ini. Eh, tapi aku juga nggak mau mengkritik deh. Bukankah orang yang mau mengkritik juga harus siap memimpin.
![]() |
■ ■ ■
Oh
iya, namanya Kia. Ia, itu loh gadis berkerudung cokelat susu yang aku lihat di jalan
paving waktu itu. Dia tuh udah
cantik, baik, pintar pula.
“Iya
Fa, jadi nanti yang ini bisa dirubah jadi gini.” Sambil ngotak-aktik leptopku.
“Wah
gitu ya. Kalau yang ini?”
“Yang
ini juga sama. Coba deh kamu rubah seperti yang aku ajarkan tadi.”
“Ok, aku coba deh. Thanks ya, Ki. Udah mau ngajarin aku yang gaptek ini.” Anak desa yang baru mengenal teknologi informasi yang serba canggih.

Komentar
Posting Komentar