Punya
teman yang doyan muncak itu emang berefek sama diriku. Gara-gara si dia kagak
punya teman jalan perempuan, akhirnya aku ikut keseret deh.
Panggil
saja dia Sari, salah satu teman organisasiku.
“Fa,
temenin aku muncak yuk. Teman-temanku yang cewek tiba-tiba batalin rencana
muncak nih.”
“Lah,
kenapa kamu tidak membatalkannya sekalian?”
“Nggak
enak lah sama teman-temanku yang cowok. Aku yang ngajak mereka semua.”
“Emang
ada berapa orang.”
“Sebenarnya
kemarin sudah ada sekitar 10 orang, termasuk teman-temanku yang cewek. Tapi
sekarang tinggal 5 teman cowok, sama aku cewek sendiri.”
Di
sini nih yang buat aku lemah. Nggak mungkinkan aku ninggalin dia muncak sendiri
sama cowok-cowok.
“Kapan?”
“Minggu
depan. Tapi nanti sebelum kita berangkat, kita kumpul dulu, nentuin apa saja
yang akan kita bawa.”
“Ok,
aku temani.”
■
■ ■
Satu
hari sebelum jadwal muncak kami. Kami berkumpul bersama untuk menentukan
apa-apa saja yang akan di bawa, dan lewat jalur mana. Tujuan muncak kami kali
ini ke Gunung Prau, dimana gunung ini punya banyak pilihan jalur pendakian.
“Ok,
kita lewat jalur Igirmranak saja ya. Ini jalur baru, biar sekalian tahu.” Usul
salah satu teman.
Pada
dasarnya ke 5 teman cowok ini sudah pernah mendaki ke gunung Prau. Hanya Sari
dan aku yang belum pernah ke sana. Atau lebih tepatnya, aku yang tidak pernah
mendaki ke gunung manapun di tanah Jawa. Ya benar sekali, ini akan menjadi
pendakian pertamaku di Pulau Jawa.
■
■ ■
Perlengkapan
sudah siap, bahan konsumsi juga sudah siap, personil juga sudah lengkap. Kami
siap berangkat.
Jalur
Igirmranak adalah salah satu jalur yang berada di kawasan Wonosobo. Suhunya
yang dingin sudah mulai terasa sejak kami memasuki wilayah Wonosobo. Kabut yang
menyelimuti perjalanan kami, bagaimana tidak jika kami merencanakan pendakian
di musim hujan. *kewanen
Saat
sampai di pos pemberangkatan, kami pun di briefing
oleh pemandu posko. Dia menjelaskan bahwa akan ada 3 posko persitirahatan
selama di perjalanan menuju puncak. Dan tentu saja, sebelum berangkat kami
berdoa bersama. Sebab kata seorang pendaki.
“Pergilah!
Untuk pulang.”
Kata-kata
yang sangat mudah untuk dipahami. Tak ada alasan untuk menetap di puncak. Kami
pergi dengan hidup, maka pulangpun harus hidup.
Langkah
demi langkah sudah terlewati. Kupikir usahaku dalam beberapa hari terakhir
sudah cukup untuk bekalku mendaki. Ya, beberapa kali aku lari pagi untuk
menjaga staminaku. Tapi nyatanya, mendaki tidak semudah yang aku kira.
“Gimana,
kita istirahat dulu?”
“Iya,
istirahat sebentar. Sepertinya Fafa sudah kelelahan, tidak bersuara lagi dia.”
Dalam
hati aku ingin berkata – lanjut – karena tidak enak merepotkan mereka. Tapi
nyatanya tubuhku lebih tahu mana yang harus aku iya kan.
Hampir
setiap 5 – 10 menit kami berjalan, selalu berhenti sejenak. Ini bukan hanya
tentang kekuatan kaki yang menopang tubuh. Tapi juga isi kepala yang harus siap
dengan hembusan angin dingin yang menerpanya.
Tak
pernah terbayangkan aku akan merasakan suhu sedingin ini. Hampir saja aku
hilang akan dan berkata.
“Aku
sudah tidak sanggup lagi. Biarlah kalian yang melanjutkan perjalanan. Aku cukup
sampai di sini. Aku akan kembali ke posko awal.”
Belum
sampai lidah ini berucap, suhu dingin sudah merenggut rasa bersalahku pada
mereka. Pada akhirnya, aku pun merepotkan mereka. Satu teman membawa tas
ranselku. Satunya lagi menarikku menggunakan tongkat. Ya, setidaknya aku masih
bisa berjalan bersama mereka.
Pos
satu sudah terlewati, pos dua pun sudah kami lalui, dan kami pun sampai di pos
tiga. Kami sudah tidak kuat menahan dinginnya suhu malam yang kira-kira sudah
mencapai 5º C. Tendapun kami pasang, dan seketika kami terlelap dalam malam
yang penuh keheningan.
Pagipun
menjelang diwarnai indahnya semburan cahaya matahari yang perlahan menampakkan
Maha Kuasanya Sang Pemilik Raga. Kami semua menikmati cantiknya lukisan Tuhan
yang Maha Sempurna itu. Tentu saja, tak akan ketinggalan membingkainya dalam
potret.
■
■ ■
Dan
untuk kedua kalinya aku terhasut dengan ajakan si Sari. Emang Sari ini punya
unsur magnet yang luar biasa dahsyatnya.
“Fa,
ikutan nge-cam yuk. Temenin aku dan
mbak Lia. Sebelum dia pulang kampung.”
Mbak
Lia adalah salah satu kakak tingkat sekaligus teman organisasi juga. Dia sudah
lulus kuliah dan akan pulang kampung.
Dan
begitulah, aku pun meng-iyakannya kembali.
Kali
ini tidak perlu menunggu waktu lama. Malam hari dia mengontakku, esok harinya
aku pun tancap gas bersama mereka. Kali ini lebih banyak personil ceweknya. Ada
4 cewek yang ikut, justru hanya ada 1 cowok yang menemani. Tentu saja, kami
tidak perlu banyak teman cowok, sebab cam
ini tidak perlu mendaki. Kami hanya perlu bermotor ke lokasi dan memasang
tenda untuk beristirahat.
Menikmati
ikan bakar sambil bercanda di bawah langit yang bertabur bintang. Rasanya aku
ingin nyanyi. Ah, sudah, sudah, nggak usah nyanyi, aku sadar diri suaraku tidak
sebagus itu. *dikeplak pembaca
Pagipun
datang. Dan ternyata pemandangan di kala pagi jauh lebih indah. Luasnya Waduk
Sermo pun menambah indahnya kala matahari menampakkan wajahnya.
■
■ ■
Setelah
menjadi demisioner organisasi, aku kehilangan wadah aktualisasi diri. Rasanya
tuh kayak makan sayur tapi nggak pakai garam. Hambar.
Akhirnya
aku memtuskan untuk mendaftar menjadi relawan di salah satu instansi kerelawanan
yang sudah cukup terkenal di Indonesia.
Kenapa
harus jadi relawan? Ya, setidaknya hidupku ada manfaatnya. Biar nanti saat di
kuburuan dan ditanya malaikat, aku punya alasan kenapa belum juga kerja.
*ditabok malaikat
Orientasi
dan kelas kerelawanan sudah aku ikuti. Sekarang saatnya aku ikut Voluntary Cam atau biasa disebut VCam.
“Asek,
nge-cam lagi.” Pikirku.
Tapi
nyatanya isi cam ini lebih tepatnya
seperti acara pramuka. Kita di lapangan, ada materi, ada tugas kelompok, ada outbound, dan tentu saja ada malam
hiburan. Dan begitulah aku bersama teman-teman cewek menyanyikan lagu Laskar
Pelangi oleh Nidji bersama-sama.
Menarilah
dan terus tertawa
Walau
dunia tak seindah surga
Bersyukurlah
pada yang kuasa
Cinta
kita di dunia
Selamanya

Komentar
Posting Komentar