MUNCAK (CAM #9)

 

Punya teman yang doyan muncak itu emang berefek sama diriku. Gara-gara si dia kagak punya teman jalan perempuan, akhirnya aku ikut keseret deh.

Panggil saja dia Sari, salah satu teman organisasiku.

“Fa, temenin aku muncak yuk. Teman-temanku yang cewek tiba-tiba batalin rencana muncak nih.”

“Lah, kenapa kamu tidak membatalkannya sekalian?”

“Nggak enak lah sama teman-temanku yang cowok. Aku yang ngajak mereka semua.”

“Emang ada berapa orang.”

“Sebenarnya kemarin sudah ada sekitar 10 orang, termasuk teman-temanku yang cewek. Tapi sekarang tinggal 5 teman cowok, sama aku cewek sendiri.”

Di sini nih yang buat aku lemah. Nggak mungkinkan aku ninggalin dia muncak sendiri sama cowok-cowok.

“Kapan?”

“Minggu depan. Tapi nanti sebelum kita berangkat, kita kumpul dulu, nentuin apa saja yang akan kita bawa.”

“Ok, aku temani.”

■ ■ ■

Satu hari sebelum jadwal muncak kami. Kami berkumpul bersama untuk menentukan apa-apa saja yang akan di bawa, dan lewat jalur mana. Tujuan muncak kami kali ini ke Gunung Prau, dimana gunung ini punya banyak pilihan jalur pendakian.

“Ok, kita lewat jalur Igirmranak saja ya. Ini jalur baru, biar sekalian tahu.” Usul salah satu teman.

Pada dasarnya ke 5 teman cowok ini sudah pernah mendaki ke gunung Prau. Hanya Sari dan aku yang belum pernah ke sana. Atau lebih tepatnya, aku yang tidak pernah mendaki ke gunung manapun di tanah Jawa. Ya benar sekali, ini akan menjadi pendakian pertamaku di Pulau Jawa.

■ ■ ■

Perlengkapan sudah siap, bahan konsumsi juga sudah siap, personil juga sudah lengkap. Kami siap berangkat.

Jalur Igirmranak adalah salah satu jalur yang berada di kawasan Wonosobo. Suhunya yang dingin sudah mulai terasa sejak kami memasuki wilayah Wonosobo. Kabut yang menyelimuti perjalanan kami, bagaimana tidak jika kami merencanakan pendakian di musim hujan. *kewanen

Saat sampai di pos pemberangkatan, kami pun di briefing oleh pemandu posko. Dia menjelaskan bahwa akan ada 3 posko persitirahatan selama di perjalanan menuju puncak. Dan tentu saja, sebelum berangkat kami berdoa bersama. Sebab kata seorang pendaki.

“Pergilah! Untuk pulang.”

Kata-kata yang sangat mudah untuk dipahami. Tak ada alasan untuk menetap di puncak. Kami pergi dengan hidup, maka pulangpun harus hidup.

Langkah demi langkah sudah terlewati. Kupikir usahaku dalam beberapa hari terakhir sudah cukup untuk bekalku mendaki. Ya, beberapa kali aku lari pagi untuk menjaga staminaku. Tapi nyatanya, mendaki tidak semudah yang aku kira.

“Gimana, kita istirahat dulu?”

“Iya, istirahat sebentar. Sepertinya Fafa sudah kelelahan, tidak bersuara lagi dia.”

Dalam hati aku ingin berkata – lanjut – karena tidak enak merepotkan mereka. Tapi nyatanya tubuhku lebih tahu mana yang harus aku iya kan.

Hampir setiap 5 – 10 menit kami berjalan, selalu berhenti sejenak. Ini bukan hanya tentang kekuatan kaki yang menopang tubuh. Tapi juga isi kepala yang harus siap dengan hembusan angin dingin yang menerpanya.

Tak pernah terbayangkan aku akan merasakan suhu sedingin ini. Hampir saja aku hilang akan dan berkata.

“Aku sudah tidak sanggup lagi. Biarlah kalian yang melanjutkan perjalanan. Aku cukup sampai di sini. Aku akan kembali ke posko awal.”

Belum sampai lidah ini berucap, suhu dingin sudah merenggut rasa bersalahku pada mereka. Pada akhirnya, aku pun merepotkan mereka. Satu teman membawa tas ranselku. Satunya lagi menarikku menggunakan tongkat. Ya, setidaknya aku masih bisa berjalan bersama mereka.

Pos satu sudah terlewati, pos dua pun sudah kami lalui, dan kami pun sampai di pos tiga. Kami sudah tidak kuat menahan dinginnya suhu malam yang kira-kira sudah mencapai 5º C. Tendapun kami pasang, dan seketika kami terlelap dalam malam yang penuh keheningan.

Pagipun menjelang diwarnai indahnya semburan cahaya matahari yang perlahan menampakkan Maha Kuasanya Sang Pemilik Raga. Kami semua menikmati cantiknya lukisan Tuhan yang Maha Sempurna itu. Tentu saja, tak akan ketinggalan membingkainya dalam potret.

■ ■ ■

Dan untuk kedua kalinya aku terhasut dengan ajakan si Sari. Emang Sari ini punya unsur magnet yang luar biasa dahsyatnya.

“Fa, ikutan nge-cam yuk. Temenin aku dan mbak Lia. Sebelum dia pulang kampung.”

Mbak Lia adalah salah satu kakak tingkat sekaligus teman organisasi juga. Dia sudah lulus kuliah dan akan pulang kampung.

Dan begitulah, aku pun meng-iyakannya kembali.

Kali ini tidak perlu menunggu waktu lama. Malam hari dia mengontakku, esok harinya aku pun tancap gas bersama mereka. Kali ini lebih banyak personil ceweknya. Ada 4 cewek yang ikut, justru hanya ada 1 cowok yang menemani. Tentu saja, kami tidak perlu banyak teman cowok, sebab cam ini tidak perlu mendaki. Kami hanya perlu bermotor ke lokasi dan memasang tenda untuk beristirahat.

Menikmati ikan bakar sambil bercanda di bawah langit yang bertabur bintang. Rasanya aku ingin nyanyi. Ah, sudah, sudah, nggak usah nyanyi, aku sadar diri suaraku tidak sebagus itu. *dikeplak pembaca

Pagipun datang. Dan ternyata pemandangan di kala pagi jauh lebih indah. Luasnya Waduk Sermo pun menambah indahnya kala matahari menampakkan wajahnya.

■ ■ ■

Setelah menjadi demisioner organisasi, aku kehilangan wadah aktualisasi diri. Rasanya tuh kayak makan sayur tapi nggak pakai garam. Hambar.

Akhirnya aku memtuskan untuk mendaftar menjadi relawan di salah satu instansi kerelawanan yang sudah cukup terkenal di Indonesia.

Kenapa harus jadi relawan? Ya, setidaknya hidupku ada manfaatnya. Biar nanti saat di kuburuan dan ditanya malaikat, aku punya alasan kenapa belum juga kerja. *ditabok malaikat

Orientasi dan kelas kerelawanan sudah aku ikuti. Sekarang saatnya aku ikut Voluntary Cam atau biasa disebut VCam.

“Asek, nge-cam lagi.” Pikirku.

Tapi nyatanya isi cam ini lebih tepatnya seperti acara pramuka. Kita di lapangan, ada materi, ada tugas kelompok, ada outbound, dan tentu saja ada malam hiburan. Dan begitulah aku bersama teman-teman cewek menyanyikan lagu Laskar Pelangi oleh Nidji bersama-sama.

Menarilah dan terus tertawa

Walau dunia tak seindah surga

Bersyukurlah pada yang kuasa

Cinta kita di dunia

Selamanya

Komentar