Satu
persatu teman yang ku kenal sudah pergi meninggalkan Jogja dan ke kambali ke
kampung halaman atau bekerja di tempat-tempat lain. Sedangkan aku masih di sini
dengan segala keruetan yang ada.
Sebagai
mahasiswa tua yang semesternya sudah plus
untuk kesekian kalinya, membuatku menjadi pribadi yang begitu sensitif. Kata
orang kita harus berusaha berpikiran positif agar hidup lebih bahagia. Nyatanya
ketika dihadapkan dengan kondisi tersebut, justru pikiran negatiflah yang
pertama kali muncul dibenakku. Terlebih ketika menghadapi dengan berbagai
pertanyaan yang ujung-ujungnya bukannya membantu, justru membuatku semakin kesal.
Teman-teman
yang bertanya hanya untuk membandingkan aku dengan orang lain.
“Fa,
penelitianmu sudah sampai mana?”
“Aku
masih dibagian ini.”
“Kok
bisa sih, padahal kamu konsul duluan loh. Si Ian saja sudah selesai loh.”
Teman-teman
yang bertanya isinya basa-basi doang.
“Fa,
kamu sudah sampai mana? Ada yang bisa aku bantu?”
“Iya
nih, aku kesulitan mencari sumber untuk bagian ini. Bantuin aku dong.”
“Duh,
Fa aku lagi ada kegiatan di sini nih, habis itu ada agenda ini juga.”
Orang-orang
yang hanya ngucapin semangat.
“Fa,
gimana penelitianmu?”
“Ini
masih diperjuangkan.”
“Semangat
Fa.”
Rasanya
tuh kata semangat sudah seperti angin lalu yang lewat begitu saja, tak terlihat.
Basa-basi yang sudah benar-benar basi. Sudah tidak memilki makna apapun lagi di
hidupku.
Menghidar
adalah salah satu kata yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan itu. Dan
bahkan selain teman-teman yang begitu basi, tak tertinggal adik tingkat yang
semakin menyebalkan.
“Mbak
Fafa kapan sidang?”
Atau
“Mbak,
besok aku sidang loh, mohon doanya ya. Kapan Mbak nyusul?”
Atau
saat melihat status WA adik-adik tingkat yang sudah mengenakan toga wisuda
dengan senyum merekah mereka sambil berkata.
“Mbak
Fafa kapan wisuda?”
Seketika
aku akan menghilang dari peredaran dunia maya. Meninggalkan Hp sejenak tiga
hari atau bahkan sampai satu minggu. Ya, ini menyebalkan sekali, aku yang lebih
dulu masuk ke kampus ini, tapi kenapa mereka yang lebih dulu lulus.
Di
sinilah aku menyadari bahwa
“Masuk
kuliah bukanlah sebuah perjuangan, tapi justru mencari masalah. Perjuangan
adalah ketika kita ingin keluar dari kampus.”
Pada
dasarnya ada empat cara keluar dari kampus. Pertama, keluar dengan cara baik,
yaitu lulus dengan membanggakan. Kedua, mangajukan surat pengunduran diri
sebagai upaya agar kamu terlihat baik. Yang ketiga, diam-diam menghilang dan
entah kemana, nyawa masih ada, tapi bau sudah tidak terasa dan begitulah kampus
mengeluarkan surat DO (read: drop out). Dan yang keempat, malaikat Ijroil
menjemputmu, terserah menjemputnya dengan cara apapun.
Menjadi
mahasiswa tingkat akhir yang sudah kepentok masa tenggang perkuliahan maupun
terkait usia, menjadikanku semakin tertekan. Mengadu kepada keluarga bukanlah
menjadi salah satu jalan solutif untukku. Sedangkan keluarga besarpun justru
menjadi salah satu sumber stressorku. Terlebih jika aku selalu diteror dengan
pertanyaan yang bahkan tidak bisa aku jawab baik dari saudara maupun para
tetangga yang suka menyebalkan.
“Fa,
kapan kamu sidang?”
“Fa,
kapan wisuda?”
“Fa,
kamu sudah semester berapa sih, kok belum juga selesai?”
“Fa,
kapan kamu pulang?”
“Fa,
kapan kamu nikah? Usiamu sudah seperempat abad loh?”
Rasanya tuh, rasanya tuh, rasanya tuh. Ah, sudahlah,
mereka memang menyebalkan. Mereka tidak tahu bagaimana aku hampir setiap malam
merintih di dalam kamar, mereka bahkan tidak tau seberapa besar rinduku pada
rumah. Ah, sudahlah cukup, tak perlu lagi kalian tanyakan hal tersebut. Memangnya kalian mau aku tanya "Kapan kamu mati?"
Jangankan rindu rumah, justru aku mendapatkan surat cinta dari jurusan untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini suratnya tidak lagi tentang peringatan penambahan semester, tapi surat itu berisikan peringatan untuk mengundurkan diri dari kampus jika sampai akhir tidak juga bisa menyelesaikan tugas akhir kampus.
Hasil
Survei Khawatir Nasional yang dilakukan pada tahun 2017 dalam buku Filosofi
Teras oleh Henry Manampiring menyebutkan bahwa 53% orang yang masih
bersekolah/kuliah mengalami kekhawatiran terhadap pendidikannya. Dia tiga
penyebab utamanya adalah tugas/paper yang
tidak lancar, hilangnya motivasi belajar, dan nilai jelek/tidak lulus.
Dan aku sudah merasakan itu semua. Tugas kuliah yang tak kunjung selesai, motivasi menyelesaikan tugas yang semakin menurun dengan tekanan pertanyaan yang tak kunjung ada akhirnya, lalu bagaimana aku bisa lulus dengan baik. Semua terasa begitu nyata bahwa aku tak mampu melewatinya.
“Mak, Fafa sudah tidak kuat lagi. Fafa ingin pulang saja.” Kataku dalam kesendirian. Tapi kemudian kembali kukuatkan diri ini. “Tidak apa-apa Fafa. Kamu usahakan dulu sampai titik akhir. Kamu boleh menangis kok, tapi jangan menyerah.”
![]() |
| Sumber: https://id.pinterest.com/pin/850898923336555168/ |

Komentar
Posting Komentar