“Fa, aku lagi di Jogja nih, ketemuan yuk. Ada Sari juga.”
“Oh
iya kah, mau kapan dan dimana?”
“Hari
Rabu besok yuk, nanti aku shareloc tempatnya
ya.”
“Ok,
boleh, insyaallah aku bisa.”
Pesan
singkat melalui whatsapp dari Erma, teman
seorganisasi yang sudah lulus lebih dulu dan kebetulan sedang di Jogja. Kupikir
kapan lagi bisa bertemu dengan teman lama. Walaupun di situasi pandemik seperti
sekarang ini, tetap patuhi peraturan yang ada.
■
■ ■
Rabu pun tiba, aku menuju ke kafe
yang dijanjikan oleh Erma. Aku tiba lebih dulu, yang hanya berjarak 5 menit
dari Erma. Kami berduapun masuk ke dalam kafe. Ternyata tanpa diduga di dalam
kami bertemu dengan salah satu teman seorganisasi. Kebetulan dia sedang
mengerjakan tugas di kafe tersebut.
Akhirnya
kami bertigapun duduk bersama. Sembari menunggu Sari datang, kami sudah memesan
beberapa minuman dan juga makanan ringan sekedarnya untuk menemani pertemuan
kami. Kebetulan ada seorang kawan yang juga sedang di Jogja, akhirnya kami pun
mengajaknya berkumpul bersama di kafe itu.
Tak lama kemudian datanglah Sari dan
disusul kawan yang baru saja kami ajak untuk berkumpul. Ya, ini terasa seperti
reoni teman organisasi yang kebetulan ada di Jogja. Kami berlima pun mengobrol
bersama. Membahas tentang berbagai hal, walaupun bagiku masih terasa begitu
canggung. Terlebih ketika mereka yang sudah lulus, sedang aku dan salah seorang
yang masih belum lulus.
Mereka membahas tentang pekerjaan
mereka saat ini. Ada yang bekerja dalam instansi rintisan, ada pula yang sudah
mendaftarkan diri ke beberapa tempat, atau ada juga yang memang sudah bekerja
di sebuah instansi kesehatan sejak beberapa bulan lalu.
Lalu kemudian seorang teman yang
belum lulus pun mulai bercerita tentangnya yang menghadapi situasi dimana harus
menyelesaikan penelitiannya, sama sepertiku. Dia bercerita bagaimana dia mulai
berkomunikasi dari hati ke hati kepada kedua orangtuanya. Ya, tentu saja itu
bukan sesuatu yang mudah, terlebih di saat kami sudah sampai dipenghujung masa
studi. Bahkan dia pernah suatu ketika berpikir untuk mengakhiri hidupnya karena
masalah yang dia hadapi. Ini bukan hanya tentang tugas akhir kuliah, tapi juga
tentang perasaan yang begitu bercampur aduk sebagai orang yang sudah menginjak
masa dewasa.
Ah,
yang benar saja, dewasa itu memang tidak mengasikkan. Begitu banyak beban yang
harus dipikirkan. Dan di saat seperti inilah aku ingin sekali kembali ke masa
kanak-kanakku yang tak perlu banyak berpikir, tak perlu banyak menggunakan topeng
kehidupan. Aku bebas mengekspresikan seperti apa rasaku saat ini.
Dulu
ketika kecil aku berpikir menjadi dewasa itu menyenangkan. Tapi justru saat ini
begitu banyak teman yang kutemui mengalami situasi yang sama. Tak hanya satu
dua orang yang mengatakan pernah ingin mencoba bunuh diri. Tapi aku pun pernah
mendengar curhatan dari beberapa teman lainnya. Dan akupun teringat kembali tentang
cerita mereka.
■
■ ■
“Aku dulu pernah ingin bunuuh diri saat diputus
oleh pacarku. Hidup terasa hampa, tak ada lagi semangat untuk melanjutkan
hidup. Tak ada lagi yang menginginkanku di dunia ini.” Begitu kata seorang
teman seorganiasi yang pernah bercerita padaku.
“Ketika
kecil, aku pernah terkena polio, tubuhku bagian bawah lumpuh, tak bisa
digerakkan. Aku cacat. Setiap ke sekolah aku selalu di antar ibu menggunakan
kursi roda. Dari kelas 3 SD hingga kelas 6 SD, aku terus mendapatkan pandangan
yang buruk akan kondisi fisikku. Lalu saat SMP aku mulai mengikuti terapi
rutin, dan begitulah perlahan aku sembuh dari penyakitku. Walaupun sampai saat
ini kaki ku tidak bisa dikatakan pulih sempurna.”
Ya,
dia salah satu teman seorganisasiku yang lain. Aku sering berpikir bahwa ada
kelainan pada kakinya. Sebab cara berjalannya sedikit berbeda pada umumnya,
tapi aku tak pernah mempertanyakan tentang hal tersebut ke dia. Hingga akhirnya
dia menceritakannya, dan begitulah akhirnya aku mengetahui penyabab dari
kondisi kakinya itu.
“Satu
keluargaku tidak ada yang pernah mengalami penyakit sepertiku. Hanya aku. Aku
tidak masalah jika orang lain yang menghinaku, tapi ketika keluargaku sendiri
yang sudah membandingkan diriku dengan yang lain. Entah bagaimana lagi aku
harus bertahan untuk hidup. Dan di saat itulah, aku mulai terpuruk. Aku yang
tak kunjung menyelesaikan tugas akhir kuliahku mendapat tekanan dari berbagai
pihak, sempat membuatku ingin bunuh diri. Rasanya aku sudah tidak sanggup
menghadapi berbagai macam cercaan.” Ceritanya saat kami makan bersama di warung
penyet saat itu. “Tapi alhamdulillah, aku mengingat-Nya kembali. Aku tahu aku
salah karena pernah berpikir untuk mati. Aku pun putuskan untuk berjuang
kembali, dan di sinilah aku akhirnya menyelesaikan tugas tersebut.” Lanjutnya
yang penuh haru ketika itu.
Sungguh,
tak pernah kutemui situasi seperti yang ia alami. Bagiku dia adalah teman yang
sangat luar biasa. Bagaimana mungkin tidak jika jalan hidup yang ia lalui begitu
berat.
Cerita
yang samapun aku dengar dari salah seorang teman relawan.
“Aku
sudah diusir dari rumahku karena tidak kunjung menyelesaikan tugas akhirku. Entahlah
apakah namaku sudah dicoret dari KK atau tidak. Aku depresi, sampai-sampai
rasanya aku ingin mati. Aku sudah sempat memikirkan bagaimana caranya aku mati.
Mungkin jika aku mati, keluargaku akan menerimaku kembali atau bahkan tidak peduli
lagi.” Katanya dilain kesempatan. “Sekarang aku masih mengkonsumsi obat yang
diresepkan dari psikiater. Ya, beberapa waktu lalu aku konsultasi ke psikiater,
dan begitulah aku didiagnosa mengalami salah satu gejala gangguan jiwa berat
yang memerlukan obat rutin.” Katanya dilain kesempatan.
Dan
hingga saat ini aku masih terus menjalin talisilaturahmi dengan mereka semua. Entah
seperti apapun mereka, mereka tetaplah teman baikku.
■
■ ■
Kuteguk kembali secangkir kopi hitam yang kupesan dari barista di kafe itu,
sembari mendengarkan obrolan mereka. Tiba-tiba salah seorang teman bertanya
padaku.
“Kalau
kamu, bagaimana dengan penelitianmu Fa?”
“Aku?......”
Aku menjawab sebisaku, namun tiba-tiba mereka berkata.
“Fa,
suaramu kok makin kecil sih. Tidak terdengar.”
Kupikir
ini efek dari kaum rebahan yang tak pernah keluar-keluar, yang bahkan
sehari-harinya aku tak pernah bercakap dengan siapapun. Hanya menghabiskan
waktu di dalam kamar. *aku butuh ngobrol
“Aaaa
iya.” Akupun meninggikan suaraku dan bercerita kembali. “Aku masih berusaha
menyelesaikannya. Tapi jika sampai batas akhir yang diberikan kepadaku tak
kunjung selesai juga, aku mungkin akan mengajukan surat penguduran diri.”
Ya,
aku pikir akan lebih baik aku mundur dengan cara baik-baik dari pada aku harus
di DO (drop out). Setidaknya jika aku
mengajukan surat pengunduran diri, jika suatu saat nanti aku ingin melanjutkan
studi kembali, aku tidak dicap buruk oleh intansi.
“Aku
percaya kamu pasti bisa Fa. Tinggal dikit lagi kok.”
Aku
hanya bisa tersenyum mendengar ucapan motivasi dari temanku itu. Kau pikir ini
dikit lagi? Setelah aku menerima begitu banyak perombakan pada proposalku
kembali karena situasi pandemik ini. Ya, semua berubah, mulai dari judul, telaah
pustaka, hingga metodologi yang aku gunakan. Kau pikir ini tinggal sedikit lagi?
Setelah aku menerima surat peringatan untuk mengundurkan diri jika tidak segera
menyelesaikannya hingga batas waktu yang diberikan. Ah, rasanya kau hanya
bercanda dengan apa yang sedikit kau ketahui tentangku. Tapi ya sudahlah, aku pun
tak bisa menceritakannya kepadamu. Bukankah ceritaku hanya akan sia-sia saja.
Ya,
inilah yang selalu aku khawatirkan ketika aku harus bertemu dengan teman yang
sudah lulus lebih dulu. Mereka hanya sekedar ingin tahu tanpa mau tahu
bagaimana mereka bisa membantuku. Dan sejak itu, aku tak mau lagi bertemu
dengan teman-teman yang sudah lulus. Bagiku cukup sudah aku perjuangkan hingga
akhirku mampu. Ya, setidaknya aku tak perlu menyakiti diriku lagi lebih dalam.
Dan
begitulah, secangkir kopi pahit terakhir kuteguk dalam-dalam. Kamipun mengakhir
perjumpaan ketika waktu menjelang malam dan mulai terasa dingin.

Komentar
Posting Komentar