KOPI CANTIK (CAM #14)

 

“Fa, aku lagi di Jogja nih, ketemuan yuk. Ada Sari juga.”

“Oh iya kah, mau kapan dan dimana?”

“Hari Rabu besok yuk, nanti aku shareloc tempatnya ya.”

“Ok, boleh, insyaallah aku bisa.”

Pesan singkat melalui whatsapp dari Erma, teman seorganisasi yang sudah lulus lebih dulu dan kebetulan sedang di Jogja. Kupikir kapan lagi bisa bertemu dengan teman lama. Walaupun di situasi pandemik seperti sekarang ini, tetap patuhi peraturan yang ada.

■ ■ ■

            Rabu pun tiba, aku menuju ke kafe yang dijanjikan oleh Erma. Aku tiba lebih dulu, yang hanya berjarak 5 menit dari Erma. Kami berduapun masuk ke dalam kafe. Ternyata tanpa diduga di dalam kami bertemu dengan salah satu teman seorganisasi. Kebetulan dia sedang mengerjakan tugas di kafe tersebut.

Akhirnya kami bertigapun duduk bersama. Sembari menunggu Sari datang, kami sudah memesan beberapa minuman dan juga makanan ringan sekedarnya untuk menemani pertemuan kami. Kebetulan ada seorang kawan yang juga sedang di Jogja, akhirnya kami pun mengajaknya berkumpul bersama di kafe itu.

            Tak lama kemudian datanglah Sari dan disusul kawan yang baru saja kami ajak untuk berkumpul. Ya, ini terasa seperti reoni teman organisasi yang kebetulan ada di Jogja. Kami berlima pun mengobrol bersama. Membahas tentang berbagai hal, walaupun bagiku masih terasa begitu canggung. Terlebih ketika mereka yang sudah lulus, sedang aku dan salah seorang yang masih belum lulus.

            Mereka membahas tentang pekerjaan mereka saat ini. Ada yang bekerja dalam instansi rintisan, ada pula yang sudah mendaftarkan diri ke beberapa tempat, atau ada juga yang memang sudah bekerja di sebuah instansi kesehatan sejak beberapa bulan lalu.

            Lalu kemudian seorang teman yang belum lulus pun mulai bercerita tentangnya yang menghadapi situasi dimana harus menyelesaikan penelitiannya, sama sepertiku. Dia bercerita bagaimana dia mulai berkomunikasi dari hati ke hati kepada kedua orangtuanya. Ya, tentu saja itu bukan sesuatu yang mudah, terlebih di saat kami sudah sampai dipenghujung masa studi. Bahkan dia pernah suatu ketika berpikir untuk mengakhiri hidupnya karena masalah yang dia hadapi. Ini bukan hanya tentang tugas akhir kuliah, tapi juga tentang perasaan yang begitu bercampur aduk sebagai orang yang sudah menginjak masa dewasa.

Ah, yang benar saja, dewasa itu memang tidak mengasikkan. Begitu banyak beban yang harus dipikirkan. Dan di saat seperti inilah aku ingin sekali kembali ke masa kanak-kanakku yang tak perlu banyak berpikir, tak perlu banyak menggunakan topeng kehidupan. Aku bebas mengekspresikan seperti apa rasaku saat ini.

Dulu ketika kecil aku berpikir menjadi dewasa itu menyenangkan. Tapi justru saat ini begitu banyak teman yang kutemui mengalami situasi yang sama. Tak hanya satu dua orang yang mengatakan pernah ingin mencoba bunuh diri. Tapi aku pun pernah mendengar curhatan dari beberapa teman lainnya. Dan akupun teringat kembali tentang cerita mereka.

■ ■ ■

 “Aku dulu pernah ingin bunuuh diri saat diputus oleh pacarku. Hidup terasa hampa, tak ada lagi semangat untuk melanjutkan hidup. Tak ada lagi yang menginginkanku di dunia ini.” Begitu kata seorang teman seorganiasi yang pernah bercerita padaku.

“Ketika kecil, aku pernah terkena polio, tubuhku bagian bawah lumpuh, tak bisa digerakkan. Aku cacat. Setiap ke sekolah aku selalu di antar ibu menggunakan kursi roda. Dari kelas 3 SD hingga kelas 6 SD, aku terus mendapatkan pandangan yang buruk akan kondisi fisikku. Lalu saat SMP aku mulai mengikuti terapi rutin, dan begitulah perlahan aku sembuh dari penyakitku. Walaupun sampai saat ini kaki ku tidak bisa dikatakan pulih sempurna.”

Ya, dia salah satu teman seorganisasiku yang lain. Aku sering berpikir bahwa ada kelainan pada kakinya. Sebab cara berjalannya sedikit berbeda pada umumnya, tapi aku tak pernah mempertanyakan tentang hal tersebut ke dia. Hingga akhirnya dia menceritakannya, dan begitulah akhirnya aku mengetahui penyabab dari kondisi kakinya itu.

“Satu keluargaku tidak ada yang pernah mengalami penyakit sepertiku. Hanya aku. Aku tidak masalah jika orang lain yang menghinaku, tapi ketika keluargaku sendiri yang sudah membandingkan diriku dengan yang lain. Entah bagaimana lagi aku harus bertahan untuk hidup. Dan di saat itulah, aku mulai terpuruk. Aku yang tak kunjung menyelesaikan tugas akhir kuliahku mendapat tekanan dari berbagai pihak, sempat membuatku ingin bunuh diri. Rasanya aku sudah tidak sanggup menghadapi berbagai macam cercaan.” Ceritanya saat kami makan bersama di warung penyet saat itu. “Tapi alhamdulillah, aku mengingat-Nya kembali. Aku tahu aku salah karena pernah berpikir untuk mati. Aku pun putuskan untuk berjuang kembali, dan di sinilah aku akhirnya menyelesaikan tugas tersebut.” Lanjutnya yang penuh haru ketika itu.

Sungguh, tak pernah kutemui situasi seperti yang ia alami. Bagiku dia adalah teman yang sangat luar biasa. Bagaimana mungkin tidak jika jalan hidup yang ia lalui begitu berat.

Cerita yang samapun aku dengar dari salah seorang teman relawan.

“Aku sudah diusir dari rumahku karena tidak kunjung menyelesaikan tugas akhirku. Entahlah apakah namaku sudah dicoret dari KK atau tidak. Aku depresi, sampai-sampai rasanya aku ingin mati. Aku sudah sempat memikirkan bagaimana caranya aku mati. Mungkin jika aku mati, keluargaku akan menerimaku kembali atau bahkan tidak peduli lagi.” Katanya dilain kesempatan. “Sekarang aku masih mengkonsumsi obat yang diresepkan dari psikiater. Ya, beberapa waktu lalu aku konsultasi ke psikiater, dan begitulah aku didiagnosa mengalami salah satu gejala gangguan jiwa berat yang memerlukan obat rutin.” Katanya dilain kesempatan.

Dan hingga saat ini aku masih terus menjalin talisilaturahmi dengan mereka semua. Entah seperti apapun mereka, mereka tetaplah teman baikku.

■ ■ ■



Kuteguk kembali secangkir kopi hitam yang kupesan dari barista di kafe itu, sembari mendengarkan obrolan mereka. Tiba-tiba salah seorang teman bertanya padaku.

“Kalau kamu, bagaimana dengan penelitianmu Fa?”

“Aku?......” Aku menjawab sebisaku, namun tiba-tiba mereka berkata.

“Fa, suaramu kok makin kecil sih. Tidak terdengar.”

Kupikir ini efek dari kaum rebahan yang tak pernah keluar-keluar, yang bahkan sehari-harinya aku tak pernah bercakap dengan siapapun. Hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. *aku butuh ngobrol

“Aaaa iya.” Akupun meninggikan suaraku dan bercerita kembali. “Aku masih berusaha menyelesaikannya. Tapi jika sampai batas akhir yang diberikan kepadaku tak kunjung selesai juga, aku mungkin akan mengajukan surat penguduran diri.”

Ya, aku pikir akan lebih baik aku mundur dengan cara baik-baik dari pada aku harus di DO (drop out). Setidaknya jika aku mengajukan surat pengunduran diri, jika suatu saat nanti aku ingin melanjutkan studi kembali, aku tidak dicap buruk oleh intansi.

“Aku percaya kamu pasti bisa Fa. Tinggal dikit lagi kok.”

Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapan motivasi dari temanku itu. Kau pikir ini dikit lagi? Setelah aku menerima begitu banyak perombakan pada proposalku kembali karena situasi pandemik ini. Ya, semua berubah, mulai dari judul, telaah pustaka, hingga metodologi yang aku gunakan. Kau pikir ini tinggal sedikit lagi? Setelah aku menerima surat peringatan untuk mengundurkan diri jika tidak segera menyelesaikannya hingga batas waktu yang diberikan. Ah, rasanya kau hanya bercanda dengan apa yang sedikit kau ketahui tentangku. Tapi ya sudahlah, aku pun tak bisa menceritakannya kepadamu. Bukankah ceritaku hanya akan sia-sia saja.

Ya, inilah yang selalu aku khawatirkan ketika aku harus bertemu dengan teman yang sudah lulus lebih dulu. Mereka hanya sekedar ingin tahu tanpa mau tahu bagaimana mereka bisa membantuku. Dan sejak itu, aku tak mau lagi bertemu dengan teman-teman yang sudah lulus. Bagiku cukup sudah aku perjuangkan hingga akhirku mampu. Ya, setidaknya aku tak perlu menyakiti diriku lagi lebih dalam.

Dan begitulah, secangkir kopi pahit terakhir kuteguk dalam-dalam. Kamipun mengakhir perjumpaan ketika waktu menjelang malam dan mulai terasa dingin.

Komentar