Setelah
memulihkan tenaga selepas muncak, akhirnya waktunya kembali kerealita
kehidupanku sebagai mahasiswa tingkat akhir. Menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
berupa penelitian mahasiswa.
Memiliki
janji untuk tidak pulang sebelum lulus menjadikanku mahasiswa yang tidak pulang
ketika masa liburan tiba. Dan akhirnya aku pun menjadi mahasiswa pertama yang
melakukan konsultasi kepada dosen pembimbing. Namun, bukan menjadi salah satu
mahasiswa yang menyelesaikan tugas akhir di awal waktu.
Ini
bukan lagi bicara tentang siapa yang lebih dulu selesai kuliah, tapi juga
bicara tentang siapa dosen yang membimbingmu dan bagaimana kamu menghadapinya. Menjadi
seseorang yang tidak kuat dalam adu argument membuatku terombang-ambil dalam
pilihan dosen.
Ketika
beberapa judul penelitian diajukan, namun tidak juga kunjung mendapatkan
persetujuan dosen. Terlebih jika dosen yang membimbing lebih dari satu,
sehingga akan ada 3 pemikiran yang berbeda saling beradu menemukan titik temu
yang entah dimana akhirnya.
Hingga
sampailah pada putusan.
“Ok,
besok kamu maju seminar proposal.”
Setelah
beberapa kali merombak judul dan proposal, akhirnya waktupun mempersilahkanku
untuk maju dalam medan pertempuran. Seminar proposal bukanlah suatu hal yang
simpel, jika aku pun harus mempersiapkan berbagai macam kebutuhannya. Persiapan
berkas, konsumsi, hingga ruangan, dan tentu
saja notulensi yang akan mendampingiku selama proses seminar.
Sebenarnya
seminar ini sama seperti ketika aku melakukan presentasi di depan kelas. Hanya
saja bedanya ada 4 dosen sekaligus yang akan menjadi penilai atau penguji yang
akan mengajukan berbagai macam pertanyaan seputar proposal tersebut. Ya,
walaupun ada audiens/mahasiswa juga yang terkadang menghadirinya. Tapi sebagian
besar mahasiswa yang hadir cenderung hadir hanya untuk melengkapi lembar
kehadiran seminar proposal sebagai salah satu syarat maju seminar proposal
mereka.
Emmm,
tapi tidak menjadi masalah, justru ini menjadi peluang bagus bagiku, agar tidak
perlu menjawab banyak pertanyaan. Namun ternyata semua tidak sesuai prediksi, audeines
yang hadir di semproku justru mengajukan beberapa pertanyaan. *baik aku tandai
nama kalian
Setelah
aku menjawab semua pertanyaan audiens, sekarang giliran para penguji yang
mengajukan berbagai macam pertanyaan. Dari banyaknya pertanyaan yang diajukan,
satu diantaranya menanyakan.
“Mengapa
anda mengangkat hipotesis tersebut?”
“Saya
ingin mengetahui tentang pengaruh dari pemberian edukasi terhadap pengetahuan
mayarakat tentang masalah tersebut. Sehingga saya mengangkat hipotesis tersebut,
Bu.”
Begitu
jawaban singkat yang kusampaikan sebagai rancangan penelitian yang akan aku
lakukan. Dan tentu saja aku juga memegang satu prinsip utama dalam menjawaban
setiap pertanyaan yang aku dapatkan dari Abangku.
“Kalau
kamu tidak bisa menjawab pertanyaan penguji, jawablah dengan senyuman.”
![]() |
| Sumber: https://www.vectorstock.com/royalty-free-vector/happy-smile-smiling-face-on-yellow-background-vector-21245913 |
Ok fix,
kakak ku emang panutanku. Senyum itu punya dua arti dalam keadaan mendesak.
Pertama berarti kamu tidak tahu jawabannya, dan yang kedua berarti kamu tidak
tahu harus jawab apa. *dikeplak pembaca
Usai
seminar proposal, akhirnya aku dipersilahkan untuk meneruskan penelitian dengan
beberapa revisian tentunya. Ya, begitulah derita mahasiswa tingkat akhir, tidak
akan lepas dari kata revisi. Kata seorang penulis dalam bukunya yang berjudul
Catatan Akhir Kuliah.
“Setiap
manusia punya jatah revisi, maka habiskanlah jatah revisimu selagi muda.” Oleh
Maulana Saminson, minta dipanggil Sam.
Setelah
seminar itu usai beberapa teman mendatangiku dan mengucapkan selamat untukku karena
sudah melewati satu tahap mencapai pintu gerbang. Dan setelahnya kami pun makan
bersama di kantin kampus. Sejujurnya jika diperbolehkan memilih, sungguh aku
ingin segera pulang ke kos dan merebahkan kepalaku yang sudah sangat penat
dengan segala komentar dari para penguji tadi. Tapi apalah daya, sepertinya
tubuhku saat ini bukan menjadi milikku karena harus menuntaskan seremoni
perayaan kali ini.
Ya, aku bukanlah salah satu dari sekian banyak orang yang suka dengan sebuah seremoni. Sebab bagiku seremoni adalah sesuatu yang tidak harus ada. Begitupun dengan wisuda, bagiku wisuda adalah sebuah seremoni saja. Aku sampai saat ini masih belum bisa merasakan makna dari wisuda itu sendiri. Bagiku wisuda hanya sekedar memindahkan tali toga dari sisi kiri ke kanan. Karena makna terpenting dari perjalanan panjang perkuliahan adalah ketika kita dinyatakan lulus di depan penguji.
Tapi mungkin wisuda akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi para orang tua yang menantikan pengukuhan gelar bagi anak-anaknya yang sudah berjuang sedemikian rupa. Melihat anaknya memakai baju kebesaran dan toga di kepala. Berjalan menuju panggung pengukuhan dan disematkan serta diserahkan seberkas ijazah kelulusan, tanda bahwa si anak siap memulai perjalanan panjangnya kembali.

Komentar
Posting Komentar