Sejak beberapa hari sebelum jadwal UAS, aku sudah mencoba mencari informasi tempat cek kesehatan yang ada di kota Jogja. Aku tahu kampusku pun memiliki rumah sakit. Namun aku belum juga menemukan tempat yang pemberi pelayanan khusus perempuan. Ya, aku masih sangat sensitif jika ada orang lain yang menyentuh tubuhku.
Bahkan
aku sampai nekat akan berangkat ke Jakarta hanya untuk memeriksakan diri
setelah selesai UAS. Karena kata temanku di sana ada rumah sakit yang
memberikan pelayanan khusus perempuan. Tapi sayang, teman yang akan aku
tumpangi untuk menginap tiba-tiba saja lost
contak saat itu. Ku fikir dia menghindar dariku, ternyata dia sedang
menghadapi masalah yang tak bisa kubantu.
Setelah
beberapa kali mencari informasi ke rumah sakit, akhirnya aku memutuskan untuk
memeriksakan diri di rumah sakit swasta yang sudah cukup terkenal di kota Jogja.
Aku
pun menunggu antrian di depan ruang poli penyakit dalam itu, sendirian dengan
segala pikiran yang entah apa bergelayut di otakku. Hingga akhirnya namaku pun
dipanggil oleh perawat jaga. Aku pun masuk ke dalam ruang itu.
Kupikir
semua berjalan seperti yang dikatakan oleh bagian pendaftaran pasien. Ternyata
aku salah besar. Ingin rasanya aku berteriak.
“Jangan
senuh aku! Aku jijk, aku jijik mas.” (baca ala sinetron). *digampar stetoskop
Akhirnya
dokter merujukku untuk dilakukan rontgen.
Tak
lama kemudian hasilnya pun keluar. Aku kembali lagi ke ruang dokter semula
untuk konsultasi.
“Ini
harus dioperasi, Mbak.”
“Operasi
Dok?”
“Iya,
operasi, Mbak.”
Seketika
rasanya hatiku remuk berkeping-keping mendengar kata operasi. Tak pernah
terpikirkan olehku untuk berada di meja operasi.
“Harus
Dok? Apa tidak ada alternatif lain?”
“Tidak
ada.”
“Jika
dioperasi apa mungkin bisa kambuh kembali?”
“Ya,
kemungkinan itu juga ada.”
Semakin
hancur setelah mendengar penjelasan itu. Bahkan operasipun tidak menjamin
kesembuhan total.
Aku
kembali ke kos dengan tubuh yang lunglai, seolah tak ada lagi semangat dalam
hidupku. Bagaiman tidak, aku sendirian di perantauan ini. Siapa yang akan
menjadi penanggungjawabku ketika aku memutuskan untuk operasi. Bagaimana jika
nanti terjadi kesalahan selama operasi dan aku tidak kembali lagi dalam
kesadaran. Hopeless.
Aku
menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Sedih, sendiri, menyepi tanpa tahu
harus berkata kepada siapa perkara ini.
Akhirnya
aku pun menelpon Abangku.
“Mas,
aku tadi periksa kesehatan. Dan kata dokter aku harus operasi.”
Kuminta
padanya untuk tidak menceritakan pada Bapak dan Mamak dulu. Tapi ternyata ucapanku
itu nihil.
“Tidak
apa-apa Nduk. Bapak juga punya yang seperti itu, tapi tempatnya berbeda. Dan
bapak masih sehat sampai sekarang.”
Begitu
Mamak dan Bapak mencoba menenangkanku dari jauh. Aku pun perlahan mulai tenang,
dan kuputuskan untuk tidak melakukan operasi. Aku berusahan menjaga kesehatanku
dengan makan teratur, berolahraga, dan istirahat yang cukup.
■
■ ■
Pembelajaran
perkuliahanpun berlanjut. Sudah menjadi hal yang biasa jika kami bergiliran
menjadi presenter atau penyaji makalah, baik individu maupun kelompok. Dan
tentu saja selalu ada moderator yang mendampingi untuk membuka dan menutup
presentasi tersebut.
Jangan
ditanya lagi deh tugasku jadi apa. Sangat sering jadi moderator tentunya. Kata
mereka aku sering membuat lelucon meski terkadang terasa garing. Emmm, atau
lebih tepatnya tidak ada yang bersedia menjadi moderator. Ya iya lah, jadi
moderator itu berarti tidak punya kesempatan untuk bertanya, maka secara
otomatis tidak akan mendapat poin nilai dari dosen.
“Baik
teman-teman jika sudah tidak ada pertanyaan lagi. Izinkan saya menutup
presentasi kali ini dengan sebuah pantun. Sendirian tanpa kekasih, cukup sekian
dan terimakasih.”
Seketika
gemuruh kelaspun terasa disertai dengan tepuk tangan karena mereka tahu aku
masih menjadi mahasiswa jomblo. Ini sepertinya bukannya hanya sekedar pantun,
tapi lebih tepatnya curhat colongan. *kejatuhan proyektor
Hingga
suatu hari saat aku mendapat giliran untuk mempresentasikan hasil kerja
individuku.
“Presentasi
seperti apa ini. Anda itu sudah mahasiswa, masyarakat ilmiah. Harusnya
presentasi ini juga bersifat ilmiah. Bukannya bercandaan. Saya pikir anda ini
gila. Apa itu pantun-pantun tidak jelas seperti itu. Cobalah berpikir secara
ilmiah. Gunakan bahasa ilmiah saat presentasi.”
Bagai
petir menghantam sebatang pohon bambu yang mencoba berdiri tegak diterpa angin.
Hening. Semua terdiam tanpa kata, begitupun aku yang terduduk di meja
presentasi. Kucoba tetap tenang dan kusampaikan permintaan maaf.
Tak
pernah sedikitpun candaanku selama ini mendapat teguran yang Maha dasyat.
Terlebih setelah presentasi itu, bergantilah dengan dosen lain dan temankupun membuat
candaan selama presentasi. Semua turut tertawa dengan candaan itu. Sedang aku,
hanya bisa meraba-raba dimana letak kesalahanku tadi.
Malam
hari itu terdengar sayup kata-kata dosen itu terus keluar-masuk ke telingaku.
“Saya
pikir anda ini gila. Saya pikir anda ini gila. Saya pikir anda ini gila”
Tidak,
aku ini tidak gila. Aku masih waras, aku masih sehat. Tapi bagaimana jika nanti
aku benar-benar gila. Bagaimana jika aku terus tertekan lalu aku gila. Aku
tidak ingin gila. Aku ingin sehat.
Seketika
aku menangis tanpa henti di malam itu. Kugenggap Hp ku, mencoba mencari kontak
yang bisa aku mintai tolong. Dan kukirim pesan panjang. Kucurahkan semua
kegusaranku padanya. Ya, dia, teman sekelasku yang pernah hampir aku mintai
bantuan untuk menginap di Jakarta. Elsa namanya, teman sekelasku.
“Mengapa kamu harus memikirkan kata-katanya yang negatif itu, sedangkan kata-kata Allah jauh lebih indah, Fa.”
Dan begitulah, dinding ini menjadi saksi bisu tangisku di setiap waktu.
![]() |
| Sumber: https://plus.kapanlagi.com/kenali-sejak-dini-6-gejala-depresi-yang-wajib-kamu-tahu-8c5858.html |

Komentar
Posting Komentar