DI BALIK DINDING (CAM #5)

 

        Sejak beberapa hari sebelum jadwal UAS, aku sudah mencoba mencari informasi tempat cek kesehatan yang ada di kota Jogja. Aku tahu kampusku pun memiliki rumah sakit. Namun aku belum juga menemukan tempat yang pemberi pelayanan khusus perempuan. Ya, aku masih sangat sensitif jika ada orang lain yang menyentuh tubuhku.

Bahkan aku sampai nekat akan berangkat ke Jakarta hanya untuk memeriksakan diri setelah selesai UAS. Karena kata temanku di sana ada rumah sakit yang memberikan pelayanan khusus perempuan. Tapi sayang, teman yang akan aku tumpangi untuk menginap tiba-tiba saja lost contak saat itu. Ku fikir dia menghindar dariku, ternyata dia sedang menghadapi masalah yang tak bisa kubantu.

Setelah beberapa kali mencari informasi ke rumah sakit, akhirnya aku memutuskan untuk memeriksakan diri di rumah sakit swasta yang sudah cukup terkenal di kota Jogja.

Aku pun menunggu antrian di depan ruang poli penyakit dalam itu, sendirian dengan segala pikiran yang entah apa bergelayut di otakku. Hingga akhirnya namaku pun dipanggil oleh perawat jaga. Aku pun masuk ke dalam ruang itu.

Kupikir semua berjalan seperti yang dikatakan oleh bagian pendaftaran pasien. Ternyata aku salah besar. Ingin rasanya aku berteriak.

“Jangan senuh aku! Aku jijk, aku jijik mas.” (baca ala sinetron). *digampar stetoskop

Akhirnya dokter merujukku untuk dilakukan rontgen.

Tak lama kemudian hasilnya pun keluar. Aku kembali lagi ke ruang dokter semula untuk konsultasi.

“Ini harus dioperasi, Mbak.”

“Operasi Dok?”

“Iya, operasi, Mbak.”

Seketika rasanya hatiku remuk berkeping-keping mendengar kata operasi. Tak pernah terpikirkan olehku untuk berada di meja operasi.

“Harus Dok? Apa tidak ada alternatif lain?”

“Tidak ada.”

“Jika dioperasi apa mungkin bisa kambuh kembali?”

“Ya, kemungkinan itu juga ada.”

Semakin hancur setelah mendengar penjelasan itu. Bahkan operasipun tidak menjamin kesembuhan total.

Aku kembali ke kos dengan tubuh yang lunglai, seolah tak ada lagi semangat dalam hidupku. Bagaiman tidak, aku sendirian di perantauan ini. Siapa yang akan menjadi penanggungjawabku ketika aku memutuskan untuk operasi. Bagaimana jika nanti terjadi kesalahan selama operasi dan aku tidak kembali lagi dalam kesadaran. Hopeless.

Aku menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Sedih, sendiri, menyepi tanpa tahu harus berkata kepada siapa perkara ini.

Akhirnya aku pun menelpon Abangku.

“Mas, aku tadi periksa kesehatan. Dan kata dokter aku harus operasi.”

Kuminta padanya untuk tidak menceritakan pada Bapak dan Mamak dulu. Tapi ternyata ucapanku itu nihil.

“Tidak apa-apa Nduk. Bapak juga punya yang seperti itu, tapi tempatnya berbeda. Dan bapak masih sehat sampai sekarang.”

Begitu Mamak dan Bapak mencoba menenangkanku dari jauh. Aku pun perlahan mulai tenang, dan kuputuskan untuk tidak melakukan operasi. Aku berusahan menjaga kesehatanku dengan makan teratur, berolahraga, dan istirahat yang cukup.

■ ■ ■

Pembelajaran perkuliahanpun berlanjut. Sudah menjadi hal yang biasa jika kami bergiliran menjadi presenter atau penyaji makalah, baik individu maupun kelompok. Dan tentu saja selalu ada moderator yang mendampingi untuk membuka dan menutup presentasi tersebut.

Jangan ditanya lagi deh tugasku jadi apa. Sangat sering jadi moderator tentunya. Kata mereka aku sering membuat lelucon meski terkadang terasa garing. Emmm, atau lebih tepatnya tidak ada yang bersedia menjadi moderator. Ya iya lah, jadi moderator itu berarti tidak punya kesempatan untuk bertanya, maka secara otomatis tidak akan mendapat poin nilai dari dosen.

“Baik teman-teman jika sudah tidak ada pertanyaan lagi. Izinkan saya menutup presentasi kali ini dengan sebuah pantun. Sendirian tanpa kekasih, cukup sekian dan terimakasih.”

Seketika gemuruh kelaspun terasa disertai dengan tepuk tangan karena mereka tahu aku masih menjadi mahasiswa jomblo. Ini sepertinya bukannya hanya sekedar pantun, tapi lebih tepatnya curhat colongan. *kejatuhan proyektor

Hingga suatu hari saat aku mendapat giliran untuk mempresentasikan hasil kerja individuku.

“Presentasi seperti apa ini. Anda itu sudah mahasiswa, masyarakat ilmiah. Harusnya presentasi ini juga bersifat ilmiah. Bukannya bercandaan. Saya pikir anda ini gila. Apa itu pantun-pantun tidak jelas seperti itu. Cobalah berpikir secara ilmiah. Gunakan bahasa ilmiah saat presentasi.”

Bagai petir menghantam sebatang pohon bambu yang mencoba berdiri tegak diterpa angin. Hening. Semua terdiam tanpa kata, begitupun aku yang terduduk di meja presentasi. Kucoba tetap tenang dan kusampaikan permintaan maaf.

Tak pernah sedikitpun candaanku selama ini mendapat teguran yang Maha dasyat. Terlebih setelah presentasi itu, bergantilah dengan dosen lain dan temankupun membuat candaan selama presentasi. Semua turut tertawa dengan candaan itu. Sedang aku, hanya bisa meraba-raba dimana letak kesalahanku tadi.

Malam hari itu terdengar sayup kata-kata dosen itu terus keluar-masuk ke telingaku.

“Saya pikir anda ini gila. Saya pikir anda ini gila. Saya pikir anda ini gila”

Tidak, aku ini tidak gila. Aku masih waras, aku masih sehat. Tapi bagaimana jika nanti aku benar-benar gila. Bagaimana jika aku terus tertekan lalu aku gila. Aku tidak ingin gila. Aku ingin sehat.

Seketika aku menangis tanpa henti di malam itu. Kugenggap Hp ku, mencoba mencari kontak yang bisa aku mintai tolong. Dan kukirim pesan panjang. Kucurahkan semua kegusaranku padanya. Ya, dia, teman sekelasku yang pernah hampir aku mintai bantuan untuk menginap di Jakarta. Elsa namanya, teman sekelasku.

“Mengapa kamu harus memikirkan kata-katanya yang negatif itu, sedangkan kata-kata Allah jauh lebih indah, Fa.”

Dan begitulah, dinding ini menjadi saksi bisu tangisku di setiap waktu.

Sumber: https://plus.kapanlagi.com/kenali-sejak-dini-6-gejala-depresi-yang-wajib-kamu-tahu-8c5858.html


Komentar