DETEKTIF FAFA (CAM #6)

 

Kalau bicara soal pembelajaran di kelas, pasti tidak akan tertinggal para dosennya. Dari yang dosen santuy sampai dosen yang super killer.

Sebut saja beliau Bu Didi. Dosen yang sudah terkenal dengan karakternya yang tegas.

“Saya tidak mau mengeluarkan nilai untuk kalian.”

“Kenapa, Bu?”

“Diantara kalian ada yang coppy paste tugas. Ini namanya plagiat. Saya paling tidak suka sama plagiat.”

Lah, kalau kayak gini siapa coba yang disalahkan? Mahasiswa lagi? Ya enggaklah. Ini semua salah Larry Tesler, kan dia yang menemukan coppy paste. Kami hanya memanfaatkan fasilitas yang ada. *dikeplak dosen

■ ■ ■

Sumber: https://ceritapendek.home.blog/2019/12/14/menjadi-santuy/

Dimana ada dosen killer disitu ada dosen santuy. Aku selalu menantikan jadwal kuliah beliau. Meski beliau dosen dari fakultas tetangga. Tapi beliau punya beberapa kali jadwal mengajar di kelasku.

Panggil saja namanya pak Izal. Satu-satunya dosen filsafat terfavorit versiku.

“Ok, tugas kalian untuk pertemuan selanjutnya silahkan nonton film ini ya.” Sembari menunjukkan file film yang sudah beliau siapkan untuk kami. Helen Keller - The Miracle Worker. “Silahkan tentukan komponen bahasa dalam filsafat apa saja yang ada di dalam film tersebut. Buat pembahasan dari apa yang kalian teliti.”

Yang kayak gini nih yang aku suka. Ngerjain tugas sambil nonton. Kurang asik apa coba. Emang the best nya deh dosen yang satu ini.

■ ■ ■

Waktu yang dinanti-nanti itu pun tiba. Ya, jadwal kelas pak Izal lagi.

“Bagaimana dengan tugasnya? Sudah pada nonton semua?”

“Sudah, Pak.” Seru kami sekelas.

“Baik, nanti setelah materi kita bahas ya.”

“Siap, Pak.” Begitu semangatnya kami dengan pelajaran yang satu ini.

Pak Izal pun menjelaskan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang sudah ada di RPKPS. Beliau salah satu dosen yang selalu mengefisienkan slide PPT (read: power point). Tak perlu banyak slide, tak perlu banyak tulisan. Beliau lebih banyak menyajikan dengan gaya bahasa beliau sendiri. Jadi lebih terasa interaktif. PPT benar-benar hanya digunakan sebagai kerangka perfikir saja.

Satu persatu sub materi beliau jelaskan dengan santai. Kami pun dengan mudah menerima setiap materi dari beliau. Jika ada yang tidak dipahami, kami dipersilahkan untuk bertanya. Beliau langsung menjawabnya dengan mudah.

Akhirnya materipun selesai diberikan.

“Silahkan tugasnya bisa dikumpulkan.”

Kami pun saling mengoper lembaran tugas dari kursi belakang menuju depan, Kemudian mahasiswa yang di depan mengumpulkan ke pak Izal.

Pak Izal melihatnya satu persatu. Lalu beliaupun memanggil salah satu nama yang tertera di lembar tugas tersebut.

“Ada yang namanya Fafa?”

“Ada, Pak. Saya.” Kuacungkan tangan ke atas.

“Silahkan maju, dan jelaskan apa yang kamu tulis.”

“Baik, Pak.”

Setiap namaku dipanggil ke depan rasanya sedikit was-was. Jangan-jangan nanti aku dikatain gila lagi seperti dosen killer ku yang waktu itu.

Tak lama setelah aku memaparkan jawaban yang aku tulis dalam lembar tugasku, pak Izalpun memberi respon.

“Bagus. Dari sekian banyak yang mengerjakan, saya suka dengan jawaban ringkas dan jelas seperti ini.”

Seketika hatiku berbunga-bunga. Apa ini pujian, atau hanya halusinasiku saja. *aku pingsan

■ ■ ■

Menjadi mahasiswa itu tidak lagi seperti waktu sekolah. Banyaknya tuntutan tugas, dan kurangnya apresiasi sering membuat mahasiswa depresi. Salah satunya aku.

Sewaktu sekolah aku sering sekali menerima apresiasi positif dari para guru, meski sekecil apapun konstribusiku di dalam kelas. Beda lagi ketika kuliah, aku sering kehausan akan apresiasi kata-kata baik dari para dosen. Itulah sebabnya, sewaktu aku dikatakan gila, aku tak henti-hentinya memikirkannya.

Selain ada pak Izal, ada juga dosen cantik dan baik. Bu Aris namanya. Beliau baru saja menyelesaikan kuliah doktornya di luar negeri. Beliau terlihat masih sangat muda dan cantik. Dengan balutan kerudung dan gamisnya yang panjang menambah manis senyumnya jika dipandang.

Karena beliau lulusan dari luar negeri yang memiliki perekembangan IT (read: Information Technology) sangat pesat, sering membuatnya harus mengajarkan tentang penggunaan IT tersebut. Walaupun di Indonesia sendiri belum memiliki kemampuan IT seperti yang diajarkan. Tapi kami perlu tahu untuk siap menghadapi perkembangan zaman nantinya.

“Ada yang tahu apa yang salah dalam kasus ini?” Tanya beliau, sembari menunjukkan slide kasus.

Semua mahasiswa memperhatikan kasus yang ditunjuk bu Aris. Satu persatu mahasiswa mulai mengangkat tangan.

“Saya, Bu.”

“Iya, silahkan Al.”

Ternyata jawaban Al masih belum benar.

“Saya, Bu.”

“Silahkan, Mbak Santi.”

“Menurut saya …….”

Jawaban dari Santi juga masih belum benar. Sepertinya hampir semua jawaban sama.

Aku merasa ada yang salah dari angka yang tertera di slide. Sejak awal aku memperhatikan itu, namun mereka yang menjawab sama sekali tidak menyinggungnya.

“Ada lagi yang mau menjawab?”

“Saya, Bu.”

“Iya, silahkan Fafa.”

“Jika dilihat dari waktu yang tertulis, ada jeda yang cukup lama dari waktu yang satu dengan yang berikutnya. Harusnya setiap beberapa jam ada yang tercatat dalam dokumentasi. Tapi ini sepertinya semua tindakan dilaporkan dalam satu waktu.”

Awalnya aku ragu dengan jawaban yang akan kusampaikan, karena tak seorangpun yang menyinggung ke arah itu.

“Iya, benar sekali. Di sini terlihat jelas, bahwa pendokumentasiannya tidak sesuai.”

Akhirnya, kasus terpecahkan dengan sempurna. Rasa-rasanya aku memang cocok menjadi seorang detektif. Ya, aku detektif Fafa. *mencari kaca pembesar


Komentar