Kalau
bicara soal pembelajaran di kelas, pasti tidak akan tertinggal para dosennya.
Dari yang dosen santuy sampai dosen yang super killer.
Sebut
saja beliau Bu Didi. Dosen yang sudah terkenal dengan karakternya yang tegas.
“Saya
tidak mau mengeluarkan nilai untuk kalian.”
“Kenapa,
Bu?”
“Diantara
kalian ada yang coppy paste tugas. Ini
namanya plagiat. Saya paling tidak suka sama plagiat.”
Lah,
kalau kayak gini siapa coba yang disalahkan? Mahasiswa lagi? Ya enggaklah. Ini
semua salah Larry Tesler, kan dia yang menemukan coppy paste. Kami hanya memanfaatkan fasilitas yang ada. *dikeplak
dosen
■
■ ■
![]() |
| Sumber: https://ceritapendek.home.blog/2019/12/14/menjadi-santuy/ |
Dimana
ada dosen killer disitu ada dosen
santuy. Aku selalu menantikan jadwal kuliah beliau. Meski beliau dosen dari
fakultas tetangga. Tapi beliau punya beberapa kali jadwal mengajar di kelasku.
Panggil
saja namanya pak Izal. Satu-satunya dosen filsafat terfavorit versiku.
“Ok,
tugas kalian untuk pertemuan selanjutnya silahkan nonton film ini ya.” Sembari
menunjukkan file film yang sudah beliau siapkan untuk kami. Helen Keller - The
Miracle Worker. “Silahkan tentukan komponen bahasa dalam filsafat apa saja yang
ada di dalam film tersebut. Buat pembahasan dari apa yang kalian teliti.”
Yang
kayak gini nih yang aku suka. Ngerjain tugas sambil nonton. Kurang asik apa
coba. Emang the best nya deh dosen
yang satu ini.
■
■ ■
Waktu
yang dinanti-nanti itu pun tiba. Ya, jadwal kelas pak Izal lagi.
“Bagaimana
dengan tugasnya? Sudah pada nonton semua?”
“Sudah,
Pak.” Seru kami sekelas.
“Baik,
nanti setelah materi kita bahas ya.”
“Siap,
Pak.” Begitu semangatnya kami dengan pelajaran yang satu ini.
Pak
Izal pun menjelaskan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang sudah ada di
RPKPS. Beliau salah satu dosen yang selalu mengefisienkan slide PPT (read: power point).
Tak perlu banyak slide, tak perlu
banyak tulisan. Beliau lebih banyak menyajikan dengan gaya bahasa beliau
sendiri. Jadi lebih terasa interaktif. PPT benar-benar hanya digunakan sebagai
kerangka perfikir saja.
Satu
persatu sub materi beliau jelaskan dengan santai. Kami pun dengan mudah menerima
setiap materi dari beliau. Jika ada yang tidak dipahami, kami dipersilahkan
untuk bertanya. Beliau langsung menjawabnya dengan mudah.
Akhirnya
materipun selesai diberikan.
“Silahkan
tugasnya bisa dikumpulkan.”
Kami
pun saling mengoper lembaran tugas dari kursi belakang menuju depan, Kemudian
mahasiswa yang di depan mengumpulkan ke pak Izal.
Pak
Izal melihatnya satu persatu. Lalu beliaupun memanggil salah satu nama yang
tertera di lembar tugas tersebut.
“Ada
yang namanya Fafa?”
“Ada,
Pak. Saya.” Kuacungkan tangan ke atas.
“Silahkan
maju, dan jelaskan apa yang kamu tulis.”
“Baik,
Pak.”
Setiap
namaku dipanggil ke depan rasanya sedikit was-was. Jangan-jangan nanti aku
dikatain gila lagi seperti dosen killer
ku yang waktu itu.
Tak
lama setelah aku memaparkan jawaban yang aku tulis dalam lembar tugasku, pak
Izalpun memberi respon.
“Bagus.
Dari sekian banyak yang mengerjakan, saya suka dengan jawaban ringkas dan jelas
seperti ini.”
Seketika
hatiku berbunga-bunga. Apa ini pujian, atau hanya halusinasiku saja. *aku
pingsan
■
■ ■
Menjadi
mahasiswa itu tidak lagi seperti waktu sekolah. Banyaknya tuntutan tugas, dan
kurangnya apresiasi sering membuat mahasiswa depresi. Salah satunya aku.
Sewaktu
sekolah aku sering sekali menerima apresiasi positif dari para guru, meski
sekecil apapun konstribusiku di dalam kelas. Beda lagi ketika kuliah, aku
sering kehausan akan apresiasi kata-kata baik dari para dosen. Itulah sebabnya,
sewaktu aku dikatakan gila, aku tak henti-hentinya memikirkannya.
Selain
ada pak Izal, ada juga dosen cantik dan baik. Bu Aris namanya. Beliau baru saja
menyelesaikan kuliah doktornya di luar negeri. Beliau terlihat masih sangat
muda dan cantik. Dengan balutan kerudung dan gamisnya yang panjang menambah
manis senyumnya jika dipandang.
Karena
beliau lulusan dari luar negeri yang memiliki perekembangan IT (read: Information Technology) sangat pesat,
sering membuatnya harus mengajarkan tentang penggunaan IT tersebut. Walaupun di
Indonesia sendiri belum memiliki kemampuan IT seperti yang diajarkan. Tapi kami
perlu tahu untuk siap menghadapi perkembangan zaman nantinya.
“Ada
yang tahu apa yang salah dalam kasus ini?” Tanya beliau, sembari menunjukkan slide kasus.
Semua
mahasiswa memperhatikan kasus yang ditunjuk bu Aris. Satu persatu mahasiswa
mulai mengangkat tangan.
“Saya,
Bu.”
“Iya,
silahkan Al.”
Ternyata
jawaban Al masih belum benar.
“Saya,
Bu.”
“Silahkan,
Mbak Santi.”
“Menurut
saya …….”
Jawaban
dari Santi juga masih belum benar. Sepertinya hampir semua jawaban sama.
Aku
merasa ada yang salah dari angka yang tertera di slide. Sejak awal aku memperhatikan itu, namun mereka yang menjawab
sama sekali tidak menyinggungnya.
“Ada
lagi yang mau menjawab?”
“Saya,
Bu.”
“Iya,
silahkan Fafa.”
“Jika
dilihat dari waktu yang tertulis, ada jeda yang cukup lama dari waktu yang satu
dengan yang berikutnya. Harusnya setiap beberapa jam ada yang tercatat dalam dokumentasi.
Tapi ini sepertinya semua tindakan dilaporkan dalam satu waktu.”
Awalnya
aku ragu dengan jawaban yang akan kusampaikan, karena tak seorangpun yang
menyinggung ke arah itu.
“Iya,
benar sekali. Di sini terlihat jelas, bahwa pendokumentasiannya tidak sesuai.”
Akhirnya, kasus terpecahkan dengan sempurna. Rasa-rasanya aku memang cocok menjadi seorang detektif. Ya, aku detektif Fafa. *mencari kaca pembesar

Komentar
Posting Komentar