Beberapa
hari setelah seminar proposal, aku pun ke kampus untuk mengurus berkas
pengajuan izin etik penelitian. Ya, jurusanku merupakan salah satu jurusan yang
setiap penelitiannya harus memiliki izin etik baik dari kampus maupun dari
instansi tempat penelitian. Dimana izin ini mencakup tentang perlakukan peneliti
terhadap obyek yang diteliti, sebab sebagian besar penelitian di jurusanku dilakukan
terhadap obyek manusia. Pengajuan izin etikpun harus memiliki surat pengantar
dari jurusan, dan begitulah aku datang ke kampus untuk mengajukannya.
Bagiku
pergi ke kampus di saat ini adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi, terlebih
aku sudah tidak memiliki keperluan perkuliahan. Dimana aku harus bertemu dengan
orang lain yang aku kenal, entah itu teman seangkat yang juga masih sama-sama
berjuang atau adik kelas yang juga mulai menyusul kami dalam penelitian.
Entah
datang dari mana adik tingkat yang satu ini. Saat aku tiba di depan lift menuju ke lantai atas. Tiba-tiba
dia datang dan berdiri tepat di sampingku menunggu lift yang terbuka. Aku terkejut melihatnya yang begitu terlihat
tinggi. Ya, aku yang sudah termasuk tinggi pun masih jauh di bawahnya.
Sepertinya dia memiliki tinggi kira-kira 175 cm atau 180 cm. Dia pun menyapaku.
“Hai
Mbak Fafa.”
“Hai
juga Bang.”
Begitu
aku menyebutnya Abang. Walaupun dia adik kelas ku, tapi secara usia, sepertinya
dia berada di atasku. Terlebih dia sudah pernah mendaftarkan kuliah sebelum aku
mendaftar. Hanya saja dia saat itu masih belum diterima di kampus ternama di
Jakarta. Hingga akhirnya dua tahun kemudian dia mendaftar kembali di kampus
ini. Ya, tepat dia seharusnya menjadi kakak tingkatku bukan.
Lift
pun terbuka, kami masuk bersama ke dalam lift,
dan sialnya kenapa tidak ada orang lain yang masuk lift juga. Hanya kami berdua di dalam lift. Apa aku harus keluar dan berpura-pura ada keperluan lain,
atau aku cukup keluar saja tanpa menjelaskan apapun.
Ah,
sudah terlambat, lift sudah bergerak
ke atas. Ya, kami menujuk ke lantai yang sama. Lantai 7 adalah tujuan kami.
Betapa jauhnya lantai itu. Aku sangat jarang berada dalam situasi ini. Begitu
canggung. Rasanya detak jantungku sudah tidak beraturan. ~Disetiap ada kamu
mengapa jantungku berdetak… Berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang~
(Pendengar Dewa-19 pasti bacanya sambil nyanyi).
Tiba-tiba
dia bertanya padaku.
“Mbak
Fafa, kenapa saya sudah tidak pernah melihat status WA Mbak? Mbak pasti nge-hidden kontak saya ya dari status WA Mbak?”
“Tidak
kok, Bang. Saya memang jarang membuat status WA.” Mampus, ini anak kenapa bisa
langsung tanya seperti itu, padahal sudah lama tidak pernah bertemu.
“Pasti
mbak lupa nge-hidden saya juga di Instagram
ya.”
“Tidak
Bang, saya memang tidak nge-hidden Abang
kok.”
Yang
benar saja, aku memang sengaja meng-hidden
kontak WA dia dari status WA ku. Dia selalu mengomentari setiap status WA
yang aku posting dengan candaan. Rasanya aku tidak ingin lagi berurusan dengan
perasaan seperti saat aku yang mulai tertarik pada teman seorganisasiku waktu
itu. Ya, semua bermula dari saling membalas canda di chat whatsapp.
Sebenarnya memang tidak hanya dia yang aku hidden, tapi juga kontak teman-teman cowok yang aku simpan nomornya juga aku hidden semua. Tapi kenapa dia bisa spontan sekali menanyakannya. Ah, rasanya gila berada dalam lift ini. Aku berharap di lantai berapapun akan ada orang yang menghentikan lift dan masuk ke dalam lift bersama kami. Namun sayang sampai ke lantai 7 pun tak ada satupun orang yang masuk.
![]() |
| Sumber: https://r1.community.samsung.com/t5/galaxy-gallery/elevate-knowledge/td-p/6718058 |
Kami
menuju ke ruang yang sama dengan keperluan yang berbeda. Aku masuk ke dalam
ruangan lebih dulu, lalu kemudian bergantian dia. Tak lama kemudian dia sudah
selesai dengan urusannya. Kupikir dia akan langsung pulang, tapi nyatanya
justru dia menungguku yang masih belum selesai dengan urusanku.
Setelah
aku menyelesaikannya, kami pun menuju ke lift
lagi. Tuhan, mau sampai kapan kami berjalan bersama. Aku ingin segera berbeda
jalan dengannya. Hingga lift sampai di
lantai satu, aku menuju ke arah parkiran. Kupikir dia akan ke arah yang berbeda
dan ada keperluan lain. Tapi sekali lagi kami berjalan ke arah yang sama.
Parkiran.
Sepanjang
perjalanan yang cukup jauh jarak dari gedung itu menuju ke parkiran. Kira-kira
butuh 5 menit untuk jalan ke sana atau bahkan bisa lebih jika jalan dengan santai.
Dia bercerita lebih banyak dariku. Ya, bagaimana bisa aku berbicara banyak,
sedang detak jantungku masih tidak beraturan seperti ini. DAG DIG DUG.
“Saya
pengen tahun ini saya menikah.”
“Aaa
begitu, semoga dimudahkan Bang.”
“Kalau
Mbak Fafa sendiri?”
“Saya?
Belum ada rencana itu sih Bang.” Aku yang penasaran mulai bertanya. “Abang
sudah ada calonnya ya pasti.” Sekali lagi untuk memastikan posisiku dalam
percakapan itu.
“Emmm,
belum sih. Insyaallah direncanakan saja dulu.”
Wah,
posisiku semakin canggung di situasi seperti ini. Ini sebenarnya kemana arah
pembicaraan kita, Bang. Aku ingin menanggapinya dengan candaan, tapi nyatanya
aku justru terteguk dengan pernyataan tersebut.
■
■ ■
Beberapa bulan kemudian, tiba-tiba
aku membuka status postinya WA nya. Dan begitulah aku membaca sebuah postingan
undangan pernikahannya yang akan diadakan beberapa hari kemudian. Ya, dia orang
yang pernah membuat hatiku berdetak tidak karuan akan segera mengucapkan akad
di depan penghulu bersama perempuan lain.
Apakah
aku kali ini baik-baik saja? Ya, tentu saja ini jauh lebih baik dibanding saat
itu, orang yang benar-benar menarik perhatianku dinyatakan Sah menjadi suami dari
perempuan lain.
Bukankah sudah cukup bagiku untuk memikirkan terlalu dalam masalah itu? Ya, walaupun jika diingatkan kembali aku masih belum siap dengan semuanya. Seperti kata seorang komedian.
“Kamu akan siap dengan semuanya, ketika kamu sudah bisa menertawakan sesuatu yang terjadi di masa lalu. Baik situasi itu membahagiakan maupun menyedihkan.”

Komentar
Posting Komentar