DAG DIG DUG (CAM #11)

 

Beberapa hari setelah seminar proposal, aku pun ke kampus untuk mengurus berkas pengajuan izin etik penelitian. Ya, jurusanku merupakan salah satu jurusan yang setiap penelitiannya harus memiliki izin etik baik dari kampus maupun dari instansi tempat penelitian. Dimana izin ini mencakup tentang perlakukan peneliti terhadap obyek yang diteliti, sebab sebagian besar penelitian di jurusanku dilakukan terhadap obyek manusia. Pengajuan izin etikpun harus memiliki surat pengantar dari jurusan, dan begitulah aku datang ke kampus untuk mengajukannya. 

Bagiku pergi ke kampus di saat ini adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi, terlebih aku sudah tidak memiliki keperluan perkuliahan. Dimana aku harus bertemu dengan orang lain yang aku kenal, entah itu teman seangkat yang juga masih sama-sama berjuang atau adik kelas yang juga mulai menyusul kami dalam penelitian.

Entah datang dari mana adik tingkat yang satu ini. Saat aku tiba di depan lift menuju ke lantai atas. Tiba-tiba dia datang dan berdiri tepat di sampingku menunggu lift yang terbuka. Aku terkejut melihatnya yang begitu terlihat tinggi. Ya, aku yang sudah termasuk tinggi pun masih jauh di bawahnya. Sepertinya dia memiliki tinggi kira-kira 175 cm atau 180 cm. Dia pun menyapaku.

“Hai Mbak Fafa.”

“Hai juga Bang.”

Begitu aku menyebutnya Abang. Walaupun dia adik kelas ku, tapi secara usia, sepertinya dia berada di atasku. Terlebih dia sudah pernah mendaftarkan kuliah sebelum aku mendaftar. Hanya saja dia saat itu masih belum diterima di kampus ternama di Jakarta. Hingga akhirnya dua tahun kemudian dia mendaftar kembali di kampus ini. Ya, tepat dia seharusnya menjadi kakak tingkatku bukan.

Lift pun terbuka, kami masuk bersama ke dalam lift, dan sialnya kenapa tidak ada orang lain yang masuk lift juga. Hanya kami berdua di dalam lift. Apa aku harus keluar dan berpura-pura ada keperluan lain, atau aku cukup keluar saja tanpa menjelaskan apapun.

Ah, sudah terlambat, lift sudah bergerak ke atas. Ya, kami menujuk ke lantai yang sama. Lantai 7 adalah tujuan kami. Betapa jauhnya lantai itu. Aku sangat jarang berada dalam situasi ini. Begitu canggung. Rasanya detak jantungku sudah tidak beraturan. ~Disetiap ada kamu mengapa jantungku berdetak… Berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang~ (Pendengar Dewa-19 pasti bacanya sambil nyanyi).

Tiba-tiba dia bertanya padaku.

“Mbak Fafa, kenapa saya sudah tidak pernah melihat status WA Mbak? Mbak pasti nge-hidden kontak saya ya dari status WA Mbak?”

“Tidak kok, Bang. Saya memang jarang membuat status WA.” Mampus, ini anak kenapa bisa langsung tanya seperti itu, padahal sudah lama tidak pernah bertemu.

“Pasti mbak lupa nge-hidden saya juga di Instagram ya.”

“Tidak Bang, saya memang tidak nge-hidden Abang kok.”

Yang benar saja, aku memang sengaja meng-hidden kontak WA dia dari status WA ku. Dia selalu mengomentari setiap status WA yang aku posting dengan candaan. Rasanya aku tidak ingin lagi berurusan dengan perasaan seperti saat aku yang mulai tertarik pada teman seorganisasiku waktu itu. Ya, semua bermula dari saling membalas canda di chat whatsapp.

Sebenarnya memang tidak hanya dia yang aku hidden, tapi juga kontak teman-teman cowok yang aku simpan nomornya juga aku hidden semua. Tapi kenapa dia bisa spontan sekali menanyakannya. Ah, rasanya gila berada dalam lift ini. Aku berharap di lantai berapapun akan ada orang yang menghentikan lift dan masuk ke dalam lift bersama kami. Namun sayang sampai ke lantai 7 pun tak ada satupun orang yang masuk.

Sumber: https://r1.community.samsung.com/t5/galaxy-gallery/elevate-knowledge/td-p/6718058


Kami menuju ke ruang yang sama dengan keperluan yang berbeda. Aku masuk ke dalam ruangan lebih dulu, lalu kemudian bergantian dia. Tak lama kemudian dia sudah selesai dengan urusannya. Kupikir dia akan langsung pulang, tapi nyatanya justru dia menungguku yang masih belum selesai dengan urusanku.

Setelah aku menyelesaikannya, kami pun menuju ke lift lagi. Tuhan, mau sampai kapan kami berjalan bersama. Aku ingin segera berbeda jalan dengannya. Hingga lift sampai di lantai satu, aku menuju ke arah parkiran. Kupikir dia akan ke arah yang berbeda dan ada keperluan lain. Tapi sekali lagi kami berjalan ke arah yang sama. Parkiran.

Sepanjang perjalanan yang cukup jauh jarak dari gedung itu menuju ke parkiran. Kira-kira butuh 5 menit untuk jalan ke sana atau bahkan bisa lebih jika jalan dengan santai. Dia bercerita lebih banyak dariku. Ya, bagaimana bisa aku berbicara banyak, sedang detak jantungku masih tidak beraturan seperti ini. DAG DIG DUG.

“Saya pengen tahun ini saya menikah.”

“Aaa begitu, semoga dimudahkan Bang.”

“Kalau Mbak Fafa sendiri?”

“Saya? Belum ada rencana itu sih Bang.” Aku yang penasaran mulai bertanya. “Abang sudah ada calonnya ya pasti.” Sekali lagi untuk memastikan posisiku dalam percakapan itu.

“Emmm, belum sih. Insyaallah direncanakan saja dulu.”

Wah, posisiku semakin canggung di situasi seperti ini. Ini sebenarnya kemana arah pembicaraan kita, Bang. Aku ingin menanggapinya dengan candaan, tapi nyatanya aku justru terteguk dengan pernyataan tersebut.

■ ■ ■

            Beberapa bulan kemudian, tiba-tiba aku membuka status postinya WA nya. Dan begitulah aku membaca sebuah postingan undangan pernikahannya yang akan diadakan beberapa hari kemudian. Ya, dia orang yang pernah membuat hatiku berdetak tidak karuan akan segera mengucapkan akad di depan penghulu bersama perempuan lain.

Apakah aku kali ini baik-baik saja? Ya, tentu saja ini jauh lebih baik dibanding saat itu, orang yang benar-benar menarik perhatianku dinyatakan Sah menjadi suami dari perempuan lain.

Bukankah sudah cukup bagiku untuk memikirkan terlalu dalam masalah itu? Ya, walaupun jika diingatkan kembali aku masih belum siap dengan semuanya. Seperti kata seorang komedian.

“Kamu akan siap dengan semuanya, ketika kamu sudah bisa menertawakan sesuatu yang terjadi di masa lalu. Baik situasi itu membahagiakan maupun menyedihkan.”

Komentar