Kedua
kalinya camping bersama teman selama
di Yogyakarta. Kali ini tidak perlu mendaki gunung lewati lembah lagi. Cukup
berkendara roda dua dengan perbekalan seadanya. Tapi lagi-lagi kali ini
kepergianku masih dengan alasan yang sama, untuk menemani teman yang ingin camping. Sebut saja dia Miss Y, yang
mengajak ku untuk turut serta dalam rencana camping
nya kali ini. Ku fikir “Tak apalah
menikmati waktu sejenak bersama kawan.”
Bukan
hal yang luar biasa jika tidak diceritakan kembali tentang perjalanan yang berliku
dan penuh kenangan, seperti genangan air hujan yang membasahi kami saat itu. Minggu, 6 Januari 2020, kami pun memulai perjalanan. Tepat setelah shalat ashar
kami baru beranjak dari jalan Kaliurang menuju ke Waduk Sermo, Kulon Progo. Harusnya
kami tidak memilih waktu itu, mengingat Jogja masih berada dalam situasi
musim hujan. Tentu saja jas hujan menjadi tameng perjalanan kami berempat. Aku,
Miss Y, Miss A yang dulu pernah mengajakku mendaki ke Prau, dan juga adik Miss
A.
Hampir dua jam kami menempuh perjalanan, akhirnya kami pun sampai di lokasi dengan selamat. Meski kami
sempat salah tujuan pemberhentian, mengingat begitu luasnya wilayah Waduk
Sermo. Begitulah akhirnya kami menuju ke tenda jingga yang sudah kami pesan sejak
semalam kepada petugas wilayah tersebut. Waduk Sermo ini memang sudah sering
digunakan untuk camping, bahkan digunakan
untuk wisata. Tentu saja mereka juga menyediakan penyewaan tenda dan perlengkapannya.
Harganya pun cukup murah dikantong mahasiswa. Untuk kami yang menggunakan tenda
berukuran sedang dengan maksimal memuat 5 orang, penyewaan permalam cukup
membayar Rp 50.000.
Kami
tidak hanya datang berempat, ada seorang kawan Miss Y yang turut serta dan
menjadi perantara kami dengan penyewaan tersebut. Sebut saja dia Bang Far. Dia
tidak berangkat bersama kami, dia datang terakhir setelah kami semua sampai di
tenda dan berberes.
Malam
pun menyapa, dan Alhamdulillah hujan
tidak turun kala itu, padahal biasanya ba’da isya’ hujan akan turun. Sempat
terlihat sedikit mendung, namun angin menghembuskannya perlahan dan melewati
wilayah kami. Tiba-tiba Bang Far menanyakan perbekalan kami. Namun ternyata
yang kami bawa tak sesuai dengan persepsinya. Hanya beberapa bungkus mie
instan, makanan ringan juga beberapa bungkus cocolato dalam kemasan yang siap
disedu. Akhirnya Bang Far pun pergi menghampiri kawannya di Posko penjagaan
Waduk. Sedang kami asik memasak mie instan tersebut.
Mie
sudah matang, siap untuk disantap. Kami gelar matras milik Bang Far dan duduk
bersama di bawah langit yang cerah kala itu. Satu persatu bintang mulai
terlihat. Kami pun bercerita tentang apapun, namun kali itu memang momennya
terkhusus untuk Miss Y. Melepas segala penat di dada, mencurahkan segala keluh
kesah dan perasaan yang sulit terungkap.
Jika
ditanya “Mengapa perempuan selalu banyak
bercerita? Mengapa perempuan selalu ingin curhat, meski ia tau bahwa curhat itu
pun belum tentu akan mendapat solusi atau bahkan jurstru akan muncul masalah
yang baru?” Jawabannya hanya satu “Sebab
wanita hanya ingin didengar.”
Menikmati
malam dengan iringan lagu milik Fiersa Berasi. Aku benar-benar menikmatinya
kala itu, menikmati hembusang angina yang menyapa diantara sayupnya deburan air
waduk, menikmati betapa cantiknya bintang-bintang di langit yang terbentang begitu luas dan indah. Sungguh aku selalu menyukai langit.
“Andai bisa ku mengambil sedikit
keindahan langit kala itu, akan ku lakukan demi apapun. Agar bisa ku masuk kan
ke dalam tas, dan ku bawa pulang. Lalu ku letakkan di langit-langit kamar ku
yang kecil. Agar aku bisa menikmatinya seorang diri setiap saat.”
Tapi ternyata itu semua hanya
imajinasi ku, dan aku sadar betul, bahwa jika pun aku mengambil secuil
keindahannya, maka langit yang luas itu tak akan menjadi indah lagi. Karena ada
lubang yang sudah menghilang dari nya. Seperti halnya Puzzel, ia tidak akan menjadi lengkap, jika satu keping saja
menghilang, maka tidaklah lengkap gambar yang ada di dalamnya.
Setelah cukup lama Bang Far tak kembali akhirnya ia datang bersama kawannya itu dengan membawa serenteng ikan yang mereka tangkap dari menyisiri waduk. Merekapun sudah cukup kelelahan
berkeliling menangkap ikan. “Bara sudah
dibakar, sayang jika ikannya dibiarkan sampai esok hari, tentu saja akan menjadi
busuk.” Akhirnya aku putuskan untuk membantu membersihkan bagian dalam isi ikannya.
Ikan sudah siap untuk dibakar, dan
tugas membakarnya kembali lagi kepada Bang Far dan juga kawannya. Giliran
sanpat menyantap kami begitu cepat. Inilah yang namanya membagi tugas. Ketika
berkeluarga nantinya pun seharusnya kita bisa saling membantu antara satu
dengan yang lain. Bukankah saling membantu akan meringankan segala sesuatu?
Langit semakin terlihat cerah, bintang-bintangnya
bertaburan dari segala penjuruh. Tentu saja tak tertinggal bulan yang seolah
menjadi pusat pusaran para bintang. Jika rasio laki-laki dan perempuan di dunia
bisa diibaratkan, bulan itu seperti sosok lelaki, sedangkan bintang seolah
sebagai sosok perempuan. Bahkan tak jarang karena rasio itu, beberapa laki-laki
menjadi pusat perhatian bagi sebagian perempuan. Ada kiasa yang sering ku dengar di telinga.
“Laki-laki itu menang memilih,
sedangkan perempuan itu menang menolak.”
Waktu
ternyata sudah begitu larut. Akhirnya aku, Miss Y, dan juga Miss A menyusul
adik Miss A yang sudah dari jam 9 tertidur pulas di dalam tenda. Sedangkan Bang
Far dan kawannya masih duduk asik di luar.
Alaram
sholat subuh pun mulai berbunyi dari ponsel kami. Satu persatu dari kami pun
bangun dan melaksanakan sholat. Langit perlahan mulai menampakkan cahayanya
yang terpantul dari sinar matahari. Suhu udara pagi itu begitu dingin dan menyegarkan.
Tak akan ketinggalan pengabadian momen di kala pagi itu melalui ponsel kami. Mereka
dengan gaya pose mereka, sedang aku lebih suka mengabadikan alam dan sekitarnya
dalam tangpakapan layar ponsel ku. Benar saja, sore lalu kami tidak sempat atau
bahkan tidak bisa menangkap momen senja. Ya, karena kami yang datang terlambat
juga karena langit sedang mendung-mendungnya.
Akhirnya
agenda kami pun usai. Kenangan indah yang tertuang dalam secarik cerita di
ujung jalan. Ku ucapkan terimakasih untuk semua kisah dan pengalaman yang
menyenangkan. Meski tak semua hal terasa semenyenangkan itu, namun bagi ku segala
kenangan ingin ku abadikan dalam memori kecil ku ini. Karena meski ku berusaha
melupakannya, sungguh memori manusia tak seperti memori ponsel yang kita delete, lalu ia akan hilang begitu saja.
Memori ini permanen tertanam dengan baik bahkan sejak kita belum terlahir dari
kandungan ibu. Yang kuyakini hanya satu.
“Tugas kita hanya untuk menjalaninya
dengan sebaik mungkin. Sebab yang telah berlalu tak akan pernah kembali lagi. Dan
yang akan datang tak akan pernah melepaskan masa lalu. Sekali pun diri kita
sendiri.”
Yogyakarta, 3 Juni 2020

Komentar
Posting Komentar