Ketika anak di usia dini (SD) ditanya “Nanti kalau sudah besar, mau jadi
apa?” Maka sebagian besar akan menjawab “Mau jadi guru”. Begitu pula dengan ku,
sejak kecil aku ingin sekali menjadi seorang guru ketika besar nanti. Entah ini
karena memang kami tinggal di daerah pedesaan yang pelosok, sehingga yang kami
lihat hanya profesi guru. Atau mungkin karena kedua orang tua ku juga seorang
guru, yang sejak bayi pun aku sudah dibawa ke sekolah setiap harinya. Yang
jelas hampir sebagian besar teman-teman ku pun ingin menjadi seorang guru. Ya, mungkin
ada beberapa dari mereka juga yang ingin menjadi seorang dokter. Guru dan
dokter adalah profesi yang sering kami jumpai di pedesaan.
Saat aku menginjak kelas 6 SD, aku diikutsertakan dalam program dokter
kecil. Hanya ada beberapa murid yang menjadi perwakilan masing-masing sekolah,
termasuk aku. Entah ini karena aku memiliki kemampuan untuk dijadikan sebagai
perwakilan atau karena memang sekali lagi kedua orang tua ku adalah seorang
guru. Semua orang tentu tahu, beberapa hal bisa terjadi karena adanya orang
dalam. Dan tentu saja tidak terlepas dengan ku sebagai anak guru. Salah? Tentu
saja iya. Terlebih jika hal tersebut bukan melalui seleksi yang seharusnya
diadakan untuk menentukan perwakilan.
Keinginan untuk menjadi seorang dokterpun terdorong setelah mengikuti
pelatihan dokter kecil. Berusaha memberikan pemahaman akan kesehatan kepada
teman-teman di sekolah, bahkan selalu menjadi orang pemberani jika ada petugas
kesehatan yang datang ke sekolah untuk memberikan vitamin atau suntikan vaksin.
Hal yang wajar bagi setiap anak jika melakukan segala upaya agar menarik
perhatian. Bahkan hal tersebutpun tidak hanya dilakukan oleh anak kecil, bahkan
orang dewasa hingga orang tua pun melakukan hal tersebut.
Namun keinginan tersebut tidak bertahan lama. Hingga akhirnya aku masuk
ke MTs dengan keinginan yang sama untuk kedua kalinya. Ya, aku ingin menjadi
seorang guru. Kali ini dukungan ku tidak terbatas karena kedua orang tua ku
adalah seorang guru. Namun, keinginan ini muncul kembali karena keikutsertaanku
saat orang tua ku mengajak untuk mengajar di sekolah desa tetangga. Dimana
sekolah ini baru saja mereka (kedua orang tua ku) dan teman-teman gurunya
dirikan bersama. Sekolah ini begitu sederhana, bahkan murid nya pun tidak perlu
membayar dan dengan tanpa mengenakan seragam sekolah yang identik dengan anak
sekolah. Yang akhirnya gurunya pun tidak
berbayar. Semua gratis diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan pendidikan.
Sesekali aku ikut serta mengajar, meski hanya sekedar mengajarkan abjad dan
angka. Tentu saja ini yang menjadikanku berkeinginan menjadi seorang guru.
Masuk ke masa SMA. Aku masih dengan keinginan yang sama, menjadi seorang
guru. Meski dengan situasi yang labil, terasanya aku hanya ikut-ikutan saja. Bahkan
sampai memasuki kelas XI, aku pun memilih masuk kelas IPA yang memang
notabennya menjadi target kelas favorit di sekolah-sekolah tingkat menengah
atas. Atau jika mungkin aku bisa mencari alasan, maka aku akan beralasan, aku
suka matematika, aku suka fisika, aku suka kimia, aku suka biologi, aku suka
ilmu alam. Dan aku juga akan beralasan, aku tidak suka ekonomi menghitung angka
nol (0) yang begitu banyak padahal jika dipelajaran kimia angka 0 bisa
dipangkatkan, aku tidak suka sejarah yang selalu mengingat masa lalu dan
angka-angka tahunnya.
Hingga akhirnya masuk pada kelas XII diakhir-akhir masa sekolah. Aku
mengikuti kedua orang tua ku menjenguk adik ayah yang sedang dirawat di rumah
sakit kota. Saat itu aku melihat seorang perawat yang tersenyum begitu manis
ketika seorang pasien mengatakan “Terimakasih,
Sus”. Seketika itu aku mengatakan pada ibu ku “Mak, aku mau jadi perawat”. Mungkin saat itu ibu ku merasa terkejut
dengan keinginanku. Entah setelahnya beliau berkata apa, aku sudah tidak bisa
mengingatknya. Entah karena ini benar-benar keinginan murni dari dalam diri ku,
atau karena sekali lagi orang dalam. Dalam hal ini adalah kakak kandung ku yang
sedang berkuliah di keperawatan. Yang jelas saat itu Perawat menjadi
keinginanku untuk melanjutkan kuliah.
Tentu saja tidak mudah bagi ku untuk meminta melanjutkan kuliah di luar kota (Jawa), terlebih sejak SD hingga SMA aku hanya sekolah di desa ku sendiri. Namun kali ini ibu mengijinkaku kuliah di Jawa dengan syarat dan ketentuan tentunya. Salah satunya adalah “Kamu tidak boleh pulang sebelum lulus”, begitu pesan ibu. Akhirnya aku mengiyakan semua keinginannya, kecuali satu hal.
Sebenarnya kedua orang tua ku mengharapkan ku untuk mendaftar di
kebidanan saja. Entah ini karena kebidanan itu lebih baik untuk ku atau karena
masa pendidikan dikebidanan tergolong lebih cepat, sehingga aku tidak perlu
berlama-lama jauh dari ibu ku. Aku memang mendaftar untuk kedua jurusan
langsung, yaitu keperawatan dan kebidanan. Akhirnya aku lolos di kedua jurusan
tersebut, dan tentu saja aku memilih di keperawatan. Mungkin memang benar, aku
tergolong anak yang super ngeyel. Hahahah.
Memasuki masa-masa perkuliahan dan praktek benar-benar melelahkan meski
banyak hal juga yang menyenangkan. Banyak hal baru yang bisa ditemukan. Namun
kesedihan tentu saja tidak akan lepas didalamnya. Terlebih sedih akan kerinduan
kampung halaman dan segalanya. Tapi janji tetaplah janji. Pilihan sudah dijatuhkan.
Tinggal terus melakukan sebaik mungkin. Dan kemudian sampai dipenghujung masa
studi S1. Ternyata tidak berhenti disitu, ada masa studi tambahan yang harus
dilalui bagi lulusan S1. Ibu ku sekali harus merelakan anak perempuan semata
wayang nya melanjutkan studi Profesi Ners.
Dunia keperawatan tidak seindah yang dibayangkan. Kenyataannya begitu banyak hal yang melelahkan. Terlepas dari berapa gaji yang ditawarkan. Sebenarnya semasa S1 pun sudah terjun di RS dalam beberapa waktu yang diberikan untuk praktek, bahkan tidak jarang sampai tidak tidur berhari-hari karena harus menyelesaikan praktik sekaligus skripsi. Dan hal itu harus terulang kembali di masa Profesi. Bahkan masa profesi harus berada di rumah sakit hampir setahun penuh tanpa bayaran, justru kita yang membayar. Banyak hal yang dialami selama praktik.
- Hal yang menjijikan: memasang kateter urin hingga membuang urin, membersihkan nanah pada luka-luka diabetes, menganti popok-popok bayi hingga mengganti pembalut dewasa
- Hal yang menyebalkan: dimarah oleh perawat senior atau bahkan oleh petugas kesehatan yang lain seperti dokter atau bahkan bidan senior, dimarah oleh pasien, berdebat dengan teman sepraktikan
- Hal yang membuat stress: membuat laporan praktek, seminar kelompok, ujian praktik yang bahkan terkadang pasien tiba-tiba pulang saat hari ujian, kehilangan laporan praktik hanya karena akreditasi RS dan harus menggantinya dengan laporan yang baru
- Hal yang tak bisa dihindari tapi sangat ingin dihindari: menggunakan celana praktik yang pada dasarnya diluar praktik selalu menggunakan rok atau gamis, menggunakan baju operasi dengan lengan pendek bahkan hanya bisa menggunakan dalaman kerudung, tidur satu ruang bahkan bersebelahan dengan lawan jenis
- Hal yang membuat jatuh sakit: menyesuaikan jadwal praktik yang setiap hari berganti dari pagi ke siang lalu ke malam dan ke pagi lagi, jaga malam namun tidak bisa istirahat sedikit pun yang akhirnya esok harinya jatuh sakit dengan gejala tipes, terburu-buru berangkat praktik karena satu dan lain hal yang akhirnya kurang berhati-hati dan menabrak pengendara lain di jalanan.
Tentu saja beberapa orang akan berfikir “Kenapa mau jadi perawat?” Bukankah
menjadi perawat itu melelahkan? Bukankah menjadi perawat itu penuh dengan
resiko? Bukankah menjadi perawat itu tidak begitu dianggap oleh orang lain?
Setelah menyelesaikan program Profesi Ners, akhirnya
aku memutuskan untuk mencari jalan lain di dunia keperawatan tanpa harus
mengambil resiko pada kesehatan ku. Satu hal yang sangat menjadi beban bagi ku
adalah “Aku tidak kuat dengan jadwal kerja
sebagai seorang perawat rumah sakit yang harus berubah setiap harinya”. Petugas
kesehatan tentu saja paham betul tentang pemenuhan kesehatan tak terlepas dari
waktu istirahat terbaik bagi tubuh dan juga makanan terbaik bagi tubuh. Namun,
hal itu semua sudah tak berarti lagi dalam dunia perawat. Semua memang perlu
dimodifikasi. Yang menjadi beban di dalam hati ku adalah “Kita memberi arahan ini dan itu, namun kita sendiri sebagai petugas
kesehatan tidak bisa untuk melaksanakannya”.
Akhirnya aku mendaftar menjadi asisten dosen dengan
target menjadi pengajar keperawatan. Lalu kemudian aku memutuskan melanjutkan
studi kembali dengan resiko ibu harus merelakan aku kembali menambah jauh
darinya. Dan begitulah aku, sekali lagi sebagai anak yang super ngeyel untuk
semua keinginanku. Sampai sini aku baru memahami, bahwa keinginanku kembali
lagi menjadi seorang guru. Bukankah dulu pun kedua orang tua ku bahkan ternyata
menginginkanku untuk mendaftar di jurusan kesenian agar menjadi seorang guru
seni. Namun ternyata dunia itu sekarang menjadi jalan yang harus diambil oleh
adik ku. Dan sekarang entah seperti apa impian ku kedepan, yang tersisalah
hanyalah perjuangan yang masih aku perjuangkan.
Teruntuk mu yang masih di jalan keperawatan praktisi, aku salut dan kuacungi jempol karena semua yang kamu lakukan adalah sangat luar biasa. Bahkan dengan segala macam kondisi yang ada saat ini. Percayalah senyum mu akan selalu menjadi obat mujarap bagi pasien mu. Doa ku selalu menyertai mu duhai perawat, duhai orang-orang baik di luar sana. Bahkan sekali pun kamu ingin menghidar dari masalah yang bahkan bukan kamu yang membuatnya, kau tetap harus kembali sekali lagi, sekali lagi, dan seterusnya. Terimakasih, terimakasih, dan terimakasih ku ucapkan duhai profesi ku, perawat.

Komentar
Posting Komentar