Kembali ke Jogja

Langit senja terlihat merona setelah hujan. Rintiknya yang perlahan memudar menambah sejuk udara di sore itu. Zainudin masih duduk di teras, menikmati secangkir kopi hangat dan sepiring ubi goreng. Matanya tertuju pada sisa air hujan yang menggenang di antara jalanan. Perlahan membawa lamunannya pada saat di perantauan.
■■■
Zainudin dengan bajunya yang sederhana, kemeja putih celana hitam panjang. Berdiri di samping gedung dan mendekap tas ranselnya. Hujan itu masih belum reda sejak tadi siang usai pembekalan Orasi kampus. Airnya yang deras mengisi setiap lubang yang ada di jalan itu. Tiba-tiba seorang lelaki menyapanya.
“Hey, aku Deden jurusan FEB. Kamu siapa?” Sapa Deden pada Zainudin.
“Aku Zainudin jurusan Geografi, dari Aceh.” Begitu Zainudin membalas sapanya. “Kalau kamu dari mana?” tanyanya kembali.
“Dari Batam, nggak jauh lah dari tempatmu.” Jawabnya dengan santai. “Oh iya, ini juga teman satu angkatan kita.” Sambil menunjuk seseorang di sampingnya.
“Hey Zainudin, Aku Qodir dari Lombok, jauh lah dari tempat kalian. Tapi sekarang Jogja mendekatankan kita, bukan? Hahaha.” Candanya ditengah percakapan. “Oh iya, aku jurusan Pariwisata. Kalau kamu mau jalan-jalan jangan lupa ajak aku ya. Hahaha.” Begitulah mereka bertiga saling mengenal.
Hari Orasi kampus pun tiba. Semua mahasiswa baru datang lengkap dengan perlengkapan yang sudah ditentukan. Wajah-wajah baru di kampus biru itu memenuhi Aula Gedung Pancasila. Kegiatanpun berlangsung dengan begitu meriah, mulai sambutan petinggi, berbagai macam penampilan hingga materi dan orasi sebagai pengisi acara. Kemudian setiap mahasiswa baru dikelompokkan dalam kelompok kecil yang diambil dari berbagai macam jurusan. Dan ternyata Zainudin, Deden, dan Qodir berada dalam satu kelompok, bersama teman-teman barunya yang lain. Seperti biasa, mereka akan mendapatkan tugas selama jalannya Orasi, mulai dari merangkum materi, membuat yel-yel penyemangat, menyelesaikan tantangan kelompok, hingga mempersiapkan penampilan semenarik mungkin.
Memang benar adanya, tujuan pembagian kelompok dengan berbagai macam jurusan akan menambah teman dari jurusan yang berbeda. Begitu pula Zainudin yang akhirnya akrab dengan Deden dan Qodir. Tidak hanya itu, ia juga mengenal Samsudin jurusan hukum yang berasal dari Ambon dan juga Hardi jurusan Menejemen yang berasal dari Solo. Dan akhirnya mereka berlima menjadi akrab.
Sejak awal mereka berlima tinggal di kos yang berbeda. Hingga akhirnya kelimanya sepakat untuk mecari rumah kontrakan. Begitulah perlahan mereka semakin akrab tanpa jeda pertemanan antar jurusan dan daerah. Bukan karena mereka memiliki kesamaan, justru mereka menyadari adanya keberagaman akan menjadi tambah menarik. Mereka hanya memiliki satu kesamaan, mereka sama-sama perantau.
Masa-masa kuliah adalah masa awal peralihan dari remaja menjadi dewasa. Dimana pada masa ini akan tumbuh benih-benih cinta kaula muda. Tak ubahnya Zainudin yang mulai tertarik pada seorang perempuan dari jurusan berbeda, Lastri namanya. Kebetulan Lastri ini juga berada dalam satu kelompok dengannya saat Orasi. Namun, hingga akhir semester empat Zainudin tidak berani untuk mengungkapkan perasaannya itu yang sudah dipendamnya selama dua tahun. Berbeda hal nya dengan Qodir yang begitu lihai bermain kata. Siapapun yang ia suka, ia berani untuk nyatakannya meski tidak secara langsung. Bahkan ia pernah menyatakan perasaanya melalui radio usang yang sejak lama menemani hari-hari mereka di kontrakan.
“Halo, nama ku Rido dari jurusan Pariwisata. Mau kirim salam untuk gadis pujaan hati yang jauh di sana. Dek Dinda dari jurusan Kimia di kampus biru, aku tresno marang sliramu, Dek.” Begitulah salam yang dititipkan Qodir pada radio FM Jogja untuk perempuan pujaanya. Meski pun ia menggunakan nama samaran, ya begitulah Qodir dengan gayanya.
Sedangkan ketiga temannya yang lain juga memiliki prinsip asmara yang berbeda-beda. Deden yang sudah memiliki tambatan hati dan akan menikahinya setelah ia lulus kuliah. Hardi yang berasal dari solo sangat kental dengan aturan keluarga dan perjodohan. Berbeda halnya dengan Samsudin atau yang lebih akrab di sapa Sam, dia lebih sibuk dengan dunia aktivis “Demi memperjuangkan nasib rakyat” katanya.
Suatu ketika Zainudin meminta bantuan pada temannya untuk permasalahan asmaranya. Tapi kali ini ia tidak berkonsultasi pada Qodir yang sudah terkenal berani untuk urusan asmara. Justru ia meminta bantuan kepada Deden, yang menurutnya sudah memiliki pendirian untuk hubungan semacam itu.
“Den, menurut mu, aku harus bagaimana?” Tanyanya.
“Si Lastri itu asli Jogja kan?” Tanyanya kembali untuk meyakinkan. Zainudin pun hanya mengangguk berarti jawaban iya. “Pasti dia suka wayang orang, kamu ajak saja dia nonton wayang orang malam minggu ini. Nanti kami temani deh, biar kamu nggak terlalu gugup.” Lanjutnya.
Zainudin pun mengajak Lastri melalui surat yang ia titipkan pada salah satu teman Lastri. Begitulah akhirnya mereka bertemu di pendopo keraton, tempat yang biasa diadakannya pertunjukan wayang orang. Mereka terlihat begitu hitmat menonton setiap adegan yang ditampilkan di panggung itu.
Akhirnya pertunjukan itu selesai. Sejenak mereka berdua duduk di bawah pohon beringin sembari menikmati semangkuk lontong sate di malam itu. Zainudin pun perlahan menyatakan perasaannya yang sudah terpedam sejak lama.
“Kamu itu ganteng, baik, pintar, bertanggung jawab, dan bisa dipercaya, Mas.” Begitu respon Lastri. Sedang Zainudin tersipu dengan pujian itu. “Tapi maaf, Lastri sudah dilamar oleh orang lain satu bulan yang lalu, dan insyaallah akhir semester depan akan menikah.” Seketika wajah Zainudin langsung menjadi lemas mendengar jawaban Lastri. Tapi apalah daya, Zainudin hanyalah seorang pengagum yang terlambat berkunjung. Seandainya ia sedikit lebih berani untuk menyatakan perasaanya, mungkin Lastri mau menerimanya lebih dulu.
Lastri pun dijemput oleh calon suaminya menggunakan mobil. Sedangkan Zainudin dan teman-temannya yang lain akhirnya pulang menggunakan sepeda yang dipinjam dari tetangga kontrakan. Sepanjang jalan mereka saling bercanda untuk menghilangkan rasa gunda di hati Zainudin.
“Kalian tadi paham, apa isi pertunjukan wayang orang itu?” Tanya Hardi.
Samsudin pun menjawab “Ya enggak lah. Orang mereka pakai Bahasa jawa halus ya. Apa itu namanya?” Tanya Sam yang duduk di belakang Hardi yang mengayuh sepeda.
“Bahasa kromo.” Sahut Deden yang mengayuh sepeda seorang diri.
“Kita baru juga tahu kata injih dan mboten, malah suruh ngartiin yang gituan. Hahaha” Canda Qodir. “Kok bisa sih kamu ngajak nonton wayang orang? Memangnya kamu paham artinya, Din?” Tanya Qodir pada Zainudin yang sedang diboncengnya.
“Itu idenya Deden. Mana aku paham juga. Aku kan hanya ikut saran dari Deden” Jawab Zainudin.
“Lah, kan kata mu si Lastri suka wayang orang. Hahaha” Deden pun menimpali dengan tawa.
“Hahaha. Apalah kalian ini, sudah tidak paham bahasa Jawa, main nekat nonton pula. Terus tadi nonton apa kalian” Tanya Hardi.
Sepontan ketiganya menjawab “Nontonin Zainudin. Hahaha.” Mereka pun tertawa sepanjang jalan menuju kontrakan.
Matahari pun terbit kembali. Tiba-tiba Samsudin dibawa dua orang polisi untuk dilakukan introgasi atas tuduhan kerusuhan yang terjadi tadi malam di depan gedung Dewan Jogja. Namun tak berapa lama kemudian, Zainudin mengajak ketiga temannya menjadi saksi dan mendatangi kantor polisi. Mereka pun memberi pernyatakaan bahwa semalaman mereka bersama menonton wayang orang di pendopo keraton. Akhirnya Sam dinyatakan tidak terlibat dalam kejadian itu dan dibebaskan dari tuduhan.
Tiga tahun sudah mereka melewati bersama masa-masa perkuliahan dengan baik. Hingga akhirnya mereka sampai pada satu tahun terakhir, dimana mereka akan mulai disibukkan dengan kegiatan KKN dan juga tugas akhir kuliah. Tapi seolah tak ada yang berubah dengan segala aktivitas mereka. Sam masih dengan semua organisasinya, Deden dengan segala tugasnya, Zainudin yang sudah mulai melupakan rasa luka akibat penolakan dari Lastri, Hardi yang sudah mulai fokus dengan tugas akhirnya, dan begitu pula dengan Qodir dengan segala tingkah konyolnya.
Hari itu Hardi melihat Qodir yang duduk termenung di depan kampus yang penuh debu itu. Ia kira Qodir sedang menyusun kalimat puitis dari tumpukan debu yang berserakan itu.
“Woe, ngapain kamu, Dir? Ngelamunin si Eneng lagi?” Tanya Hardi dengan sedikit bercanda.
“Hahaha. Kelihatannya gitu ya?” Jawab singkat yang tak biasa dari Qodir yang lebih dikenal dengan gaya bercandanya.
“Kenapa? Soal asmara atau kuliah?” Tanyanya lagi, lebih seirus.
“Ia nih Har. Aku belum bisa membayar uang semester. Ladang di kampung gagal panen, jadi belum ada uang untuk membayar semester. Prodi hanya memberi waktu perpanjangan pembayaran sampai dua bulan kedepan. Sedangkan aku pun tidak tahu sampai kapan orang tua ku bisa mengirimkannya.” Jawab Qodir dengan nada rendah.
Hardipun berinisiatif untuk mengajak teman-temannya membantu Qodir. Mereka mencari pekerjaan sampingan entah berapapun hasilnya. Satu persatu warung dan toko mereka hampiri, berharap ada pekerjaan yang bisa mereka kerjaan dan menghasilkan uang. Akhirnya mereka mendapat pekerjaan bulanan ­part time di beberapa toko. Dan begitulah uang semester Qodir bisa terbayar dengan sedikit tambahan uang kiriman dari orang tuanya. Sejak itu pula, Qodir bekerja part time di sebuah toko.
Satu per satu akhirnya mereka menyelesaikan sidang skripsi. Mulai dari Sam, lalu Deden, kemudian Zainudin, berlanjut Qodir. Namun sampai akhir semester 8, ternyata Hardi belum juga bisa menyelasikan tugas akhir kuliahnya. Sam pun berkata kepada temannya itu.
“Tidak apa-apa Har. Kami akan menunggu mu. Kita akan wisuda bersama, seperti tulisan yang kita ukir di dinding kontrakan kita. Masuk bersama, keluar bersama.” Begitu Sam dengan penuh keyakinan. Berlanjut dengan dukungan teman-temannya yang lain. Hardipun terharu dengan semua dukungan dari teman-temannya itu. Betapa tidak, sedang mereka orang asing yang berubah menjadi keluarga dan selalu mendukungnya seperti keluarga sendiri.
Sembari menunggu jadwal sidang skripsi Hardi, Deden pun memutuskan untuk menikahi kekasihnya seperti janjinya dulu. Meski Deden belum di wisuda, namun secara akademik Deden sudah dinyatakan lulus. Qodir yang begitu antusias dengan sesuatu yang berhubungan dengan asmara, mengajak teman-temannya untuk menghadiri pernikahan Deden di kampungnya, Batam. Dengan berbekal keuangan seadanya, mereka pun nekat berangkat ke Batam bersama.
“Saya terima nikahnya Naila Nurlita binti Fadjar Sidik dengan mas kawin yang tersebut di bayar tunai.” Ucap Deden di depan penghulu.
“Sah, Sah, Sah.” Semua saksi dan para tamu yang hadir saling bersahutan menyatakan Sah sebagai pernyataan akad serah terima tanggung jawab seorang perempuan dari bapaknya kepada suaminya, Deden.
Akhirnya waktu yang dinantikan itu pun tiba. Saatnya mereka berkumpul kembali di gedung yang sama saat mereka pertama kali bertemu. Dengan mengenakan baju kebanggaan, merekapun diwisudan dan dinyatakan Sah sebagai sarjana sesuai keahliannya masing-masing. Masa kuliahpun berakhir, begitu pula dengan kebersamaan mereka yang akan berakhir. Perpisahan bukanlah akhir dari segala cerita, namun awal dari cerita yang baru. Lalu kemudian merekapun berjanji di bawah langit biru.
“Bagaimana jika 20 tahun lagi kita bertemu dan kembali ke Jogja?” Tanya Zainudin kepada keempat temannya itu.
“Ok, aku setuju.” Jawab Samsudin.
“Aku juga setuju. Sekalian kita bawa istri dan anak kita ya. Hahaha.” Asal cetus Qodir yang bahkan calon istri saja dia belum punya.
“Boleh. Tapi nanti kalau ada yang lupa bagaimana? Harus ada yang mengingatkan.” Usul Hardi.
“Biar aku saja yang mengingatkan.” Sahut Deden dengan penuh semangat. “Jadi kita sepakat ya, 20 tahun lagi kita bersama kembali ke Jogja.” Deden sekali lagi mempertegas kesepakatan itu.
“Ok, sepakat.” Jawab keempatnya bersama.
■■■
“Permisi pak. Benar ini dengan rumah Pak Zainudin?” Tanya seorang laki-laki yang mengenakan jas berwarna orange bertuliskan Pos Indonesia. Tukang Pos itu sudah menghancurkan lamunan Zainudin yang sedari tadi memperhatikan genangan air selepas hujan di sore itu.
“Iya, benar. Dengan saya sendiri.” Jawab Zainudin. “Ada apa ya Pak?” Tanyanya kembali.
“Ini ada paket surat untuk bapak.” Jawab tukang pos.
“Surat? Dari siapa?” Zainudin pun penasaran siapa pengirimnya, padahal ini sudah jaman dimana orang tidak lagi mengirim surat apalagi berprangko. Semua orang sudah beralih ke media elektronik seperti smartphone atau sejenisnya.
“Di sini tertulis dari Deden kampus biru, Pak.” Tukang pos itu menyodorkan surat dari dalam tasnya. Ternyata itu adalah surat dari sahabat lamanya, Deden.
Zainudinpun membuak isi amplop itu, berisi surat dengan tuliasan tangan Deden. Ia pun tersenyum sejenak diingatkan kembali pada jaman dimana surat adalah sesuatu yang sangat berarti.

Assalamualaikum teman seperjuangan.
Bagaimana kabar kalian, sobat? Semoga sehat selalu.
Kalian masih ingat dengan janji kita kan? Dan untuk memenuhi janji itu, aku mengajak kita semua untuk kembali ke Jogja. Bersama keluarga baru tentunya. Nanti kalau Qodir hanya datang sendiri, wajib kita buang ke selokan Mataram. Hahaha.
Kita bernostalgia bersama, sekaligus menghadiri wisuda salah satu sahabat kita. Insyaallah akhir bulan April, Hardi akan wisuda yang ke 3 kalinya. Jadi akomodasi makanan sudah dijamin sama yang punya hajat. Hahaha. Bercanda. Tapi kalau serius juga boleh.
Jangan lupa ya, tandai di kalender kita.
Tanggal           : Rabu, 29 April 2020
Tempat            : Gedung Pancasila Kampus Biru
Harus datang, yang tidak datang wajib membayar biaya transportasi yang datang. Ini serius. Hahaha.
Salam hangat dari sahabat mu
Deden, Batam

“Surat dari siapa, Mas? Kok bacanya sambil senyum-senyum gitu.” Seorang perempuan keluar dari pintu rumah itu.
“Dari Deden, Dek.”
“Deden siapa, Mas?” 
“Sini deh, duduk sini dulu, Dek.” Zainudin meminta Bulan, yang tidak lain adalah istrinya. Zainudin menikahi Bulan satu tahun setelah ia diterima kerja. Bulan sendiri berasal dari daerah yang sama dengan Zainudin. Ia pun menceritakan kembali masa lalunya. “Kamu masih ingat sahabat ku semasa kuliah yang pernah kuceritakan?”
“Iya, masih, Mas” jawab Bulan.
“Nggak nyangka, ternyata si Hardi sudah lulus S3, padahal dulu dia yang terakhir sidang skripsi. Eh tahu-tahu akhir April nanti dia akan diwisuda lagi. Deden ngajak kita semua untuk kumpul bareng di Jogja.” Begiutlah Zainudin menjelaskan pada istrinya dan berlanjut mereka bercerita sembari menutup senja.


Komentar