Pendakian Pertama di 2565 mdpl

MT Prau menjadi tempat pendakian pertama ku di tanah Jawa, tepatnya di tahun 2019. Setelah aku meng-iya-kan ajakan dari salah satu kawan yang sangat cerewet, nyebelin, tapi cantik dan baik hati. Sebut saja dia Miss A.

Tepat di hari Minggu, 30 Oktober 2019, perjalanan kami pun dimulai. Kali ini kami memilih jalur pendakian via Igirmranak, Kabupaten Wonosobo. Ceritapun dimulai sejak kami menaiki mobil menuju posko pendakian. Sepanjang perjalanan terbesit fikiran bercanda ala anak pendaki. Ada yang mengajak mampir ke Candi atau berpindah haluan menuju posko pendakian yang berbeda dari yang direncanakan. Namun, sekali lagi ini hanya sebuah bercandaan ala anak pendaki.

Dan akhirnya kami sampai di posko utama pendakian, setelah sempat mampir ke salah satu masjid untuk menunaikan ibadah sholat magrib sekaligus menjamak sholat isya'. Kami sadar betul bahwa kami harus berpegang teguh pada agama kami, baik kini dan nanti.

Breaffing pun dimulai sebelum kami melangkahkan kaki menuju pucak. Dari posko tersebut, terdapat tiga pos yang akan kami lalui. Aku yang seorang pemula, sama sekali tidak memiliki gambaran seperti apa pos-pos yang ada selama pendakian. Berbeda lagi dengan mereka ber-6 yang sudah tidak asing lagi dengan dunia mendaki.
"Kini aku sadari, petualangan adalah tentang menghilang untuk menemukan, melangkah untuk memaafkan, mengalah untuk membahagiakan, dan pergi untuk pulang". (Fiersa Besari)
"Pergi untuk pulang" begitulah kalimat yang aku dengar sejak memulai pendakian. Dan kami pun siap untuk melangkah bersama. Kata bersama di sini tersusun dari strategi mendaki, dimana kami berjalan satu arah, satu barisan, dan satu komando. Aku dan Miss A sebagai perempuan ditempatkan pada posisi tengah, yang terjaga. Pada perjalanan kali ini, aku benar-benar tidak memiliki rasa takut sedikit pun. Mengingat mereka yang bersamaku adalah orang-orang yang sudah terlatih sebagai pendakai. Bahkan beberapa diantaranya sudah memiliki nama panggilang alam setelah melewati pelatihan yang sedemikian rupa.

Saat sampai di pos I, ada keinginan ku untuk berkata "Aku cukup sampai di sini saja, kalian bisa meneruskan perjalanan ke atas. Jika mungkin aku mampu, maka akan ku teruskan nanti. Tapi jika aku tak mampu, maka aku akan kembali ke posko. Aku tak mengapa". Belum sampai ku utarakan, akhirnya aku berfikir kembali "Tidak selayaknya aku membuat mereka khawatir. Terlebih kami sudah sampai di sini. Tidak mungkin harus menghentikan langkah kami hanya karena aku". Dan akhirnya kami melanjutkan perjalanan kembali.

Memang benar, saat aku memutuskan untuk berangkat, niatku adalah untuk menemani Miss A. Sebab dia adalah satu-satunya perempuan yang turut serta dalam pendakian ini. Lalu kemudian aku berusaha untuk berkuat tekat agar tidak merepotkan mereka selama pendakian. Belum juga berapa menit berjalan, ternyata upaya lari pagi ku setiap weekend tidak memaksimalkan kondisiku. Dan akhirnya aku harus berpangku tangan pada mereka. Tas ku pun di bawakan oleh Bang Han yang bergantian dengan Bang Wan. Tak itu, aku juga ditarik oleh Bang Gik dengan menggunakan tongkat. Sejak itulah aku mulai merasakan apa itu arti pendakian. Tidak semua orang bisa menjadi pendaki ulung. Namun "Setiap orang akan menampakkan sifat aslinya saat mendaki" begitulah kalimat yang sering menggambarkan karakter seorang pendaki.

Umar bin Khotab pernah berkata, bahwa:
"Ada tiga cara untuk mengetahui karakter orang. Satu diantaranya yaitu safar/perjalanan. Orang akan memperlihatkan tabiatnya saat dalam perjalanan, yang egois ya egois, yang berbagi ya berbagi".
Begitupun pepatah dari Afrika yang sering terdengar di telinga:
"Jika ingin berjalan cepat, maka berjalanlah sendiri. Namun, jika ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama-sama". (Jhon F.Kennedy)
Suhu yang semakin terasa dingin, disertai angin yang berhembus kencang hingga menghantam isi otak ku, menjadi tanda bahwa gunung yang kami daki sudah semakin dekat. Benar-benar terasa dekat, hingga aku tak bisa membedakan antara detak jantung atau pernafasanku yang mulai kehilangan oksigen di dalam paru. Dan kami semakin sering berhenti untuk sekedar duduk sejenak, meneguk air mineral atau memakan sedikit roti, dan tentu saja menarik nafas panjang untuk melangkah kembali. Ya, seperti itulah kehidupan "Ada saat dimana kita harus berhenti sejenak untuk beristirahat, mengisi energi, lalu  bangkit kembali untuk menghadapi dunia".

Jalan pendakian memang diatur sedemikian rupa. Setiap pos memang sudah diperkirakan untuk tempat berhenti yang cukup baik dengan memperkirakan tingkat keamanan dan kemampuan pendaki. Dan di sini lah salah satu tantangan bagi seorang pendaki. Saat sampai pada pos-pos pendakian, akankah ia berhenti dan benar-benar berhenti atau akan melanjutkan perjalanan kembali. Tak jarang dalam sebuah perjalanan, kita pun tergoda untuk berhenti dengan kenyamanan yang sudah kita dapatkan, tanpa melihat kembali tujuan perjalanan kita. Namun itu bukan suatu kesalahan bagi seorang pendaki. Karena bagi seorang pendaki, bukanlah puncak yang menjadi tujuan utama, namun "Pulang dengan selamat" yang menjadi tujuan akhir. Dan akhirnya kami pun melewati pos II.

Kami melangkahkan kaki kembali setelah berhenti sejenak menikmati sebungkus nasi yang kami bawa. Makan di bawah langit berbintang, juga menatap nyala lampu perumahan seolah meliat bintang yang berada di bawah kaki kami. Kabut pun mulai menutupi pemukiman, dedaunan yang meneteskan embunnya memberi tanda pada kami untuk segera melanjutkan langkah kembali.

Dan kami pun sampai pada pos III. Entah apa yang ada di fikiran ku saat itu, yang jelas aku hanya mengikuti langkah kaki mereka. "Jika mereka berhenti, maka aku akan berhenti". Sekali lagi ku katakan pada diriku "Aku hanya berusaha semampu ku" Dan akhirnya di pos ini lah kami memutuskan untuk berhenti dan mendirikan tenda. Aku yang begitu merasakan lelahnya perjalanan akhirnya merebahkan tubuh ku di tanah, sembari menikmati bintang-bintang yang terlukis begitu indah di langit. Sungguh Maha Besar Allah SWT yang sudah menciptakan dunia sedemikian rupa dengan segala keindahannya. Mungkin momen itulah yang sangat aku nikmati, menatap bintang-bintang di langit. Aku sunggu menyukai langit, apapun bentuk langit aku selalu menyukainya. Entah saat ia terang, saat penuh bintang, atau bahkan saat hujan, aku selalu suka langit apa adanya.

Tepat jam 00.30 WIB, akhirnya tendapun terpasang dan kami langsung memasukinya. Aku dan Miss A berada dalam satu tenda yang terpisah dengan mereka ber lima.  Ingin rasanya menikmati bintang-bintang kembali, namun apalah dayaku yang berada di dalam tenda saja sudah terasa dingin. Ku akui, suhu kali ini benar-benar terasa dingin hingga menusuk kulit. Aku pun menikmati malam di dalam tenda dengan menggenggam ponsel tanpa signal. Ku buka sebuah aplikasi Al-qur'an dan ku baca beberapa ayat dari Nya. Betapa jiwaku terasa tenang diatas bumi Nya.

Dering ponsel pun terdengar. Jam menunjukkan pukul 04.00 WIB. Waktunya kami untuk sholat subuh. Suhu dingin di waktu subuh masih menusuk kulit. Akhirnya aku dan Miss A memutuskan untuk sholat di dalam tenda dengan posisi duduk. Islam begitu memberi kemudahan kepada umatnya. Bahkan disaat kita tidak mampu berdiri, maka diperbolehkan untuk duduk. Dan saat kita tidak mampu untuk duduk, maka diperbolehkan sholat dengan posisi tidur. Tidak berhenti hanya itu, islam juga memberi kemudahan dalam bersuci. Saat dalam perjalanan, kita pun diperbolehkan untuk berwudhu dengan 1 Mud (Gelas).

Matahari mulai menampakkan cahayanya. Indah, indah banget. Sekali lagi aku mengagumi langit. Entah apa yang ingin langit sampaikan kepadaku di pagi itu. Entah ia hanya ingin menyapa ku "Hai pendaki pemula, akhirnya kau semakin dekat dengan ku" atau ia ingin menceritakan tentang ku pada dunia. Yang jelas, baik ia ataupun aku, tak akan pernah ada apa-apanya tanpa Dia, Sang pemilik segalanya.

Kami belum sampai puncak. Masih setengah jam lagi perjalanan kami menuju puncak. Namun, kali ini hanya aku, Miss A, dan Bang Han yang melanjutkan perjalanan. Sedangkan yang lainnya lebih memilih untuk menyiapkan menu makanan. Bukan karena kami bertiga egois, tapi karena meraka sudah pernah sampai ke puncak sebelumnya.

Akhirnya begitulah, kami bertiga sampai di puncak dan bertemu banyaknya pendaki yang lain. Kala itu, ada sekelompok pendaki yang melihat kami berdua dan berbisik kepada yang lain. "Lihat mereka naik gunung menggunakan gamis" begitu katanya. Lalu ditimpali yang lain "Ia, aku juga baru pertama kali melihatnya". Dan kamipun menjawab dalam bisikan "Mungkin mbaknya kurang jauh perginya. Sudah banyak sekali pendaki lain yang menggunakan gamis". Mungkin benar, saat itu hanya kami berdua yang menggunakan gamis. Pada dasarnya mendaki juga memprioritaskan tentang keselamatan, namun bukan berarti gamis menjadi penghalang dalam perjalanan. Selama kita merasa nyaman dan bisa menyesuaikan, tentu saja semua bisa dilalui. Sekali lagi ku katakan "Gamis bukan sebagai penghalang aktifitas kita".

Saat kami bertiga kembali ke tenda, makanan sudah siap tersaji. Dan kami pun menikmati sarapan pagi itu. Yang aku tahu, biasanya pendaki hanya membawa makanan seadaanya, terutama menu mie instan menjadi menu utama para pendaki. Namun, kali itu menu kami terasa istimewa. Nasi, capcay, oseng udang-telur serta kerupuk menjadi menu istimewa ku di pendakian pertama ini.

"Berangkat bersih, pulang jangan nyampah" begitulah harusnya prinsip yang kami utamakan sebagai pendaki atau lebih tepatnya pecinta alam yang tidak boleh mengotori alam.

Jika saat mendaki aku begitu banyak mengalami kesulitan, maka saat menuruninya, justru aku merasa lebih mudah untuk dilalui. Ini seperti perjalanan hidup "Saat kita ingin mencapai tujuan, maka kita akan melakukan segala upaya untuk mencapainya dengan susah payah. Namun begitu mudahnya kita turun dengan seketika".

Sepanjang perjalanan menuju posko utama, aku disuguhi kembali pemandangan yang begitu indah yang tidak terlihat saat kami mendaki di malam hari. Lereng gunung yang ditumbuhi tanaman para petani begitu terlihat hijau dan segar. Beberapa petani sedang memanen hasil kebunnya. Ku sapa seorang ibu yang sedang memetik sayur kobis di kebun itu. Begitu ramah dengan bahasa jawa nya. Ingin rasanya mampir sejenak dan membantu beliau memanen sayur-sayuran itu. Tapi tubuhku ternyata menolak dan berkata "Sudah cukup, waktu mu untuk segera pulang".

Dan akhirnya perjalanan pendakian pertamaku sampai pada tujuan akhir dengan selamat.

Inilah pendakian pertama ku, namun entah akankah ini menjadi pendakian terakhir ku juga? Yang jelas aku salut, salut banget pada para pendaki dalam menikmati ciptaan Allah SWT. Meski dengan begitu susah payah, namun begitulah cara mereka mencintai Nya. Mungkin sampai sini aku hanya ingin berkata "Cobalah mendaki, maka kau akan tahu, apakah kau seorang pendaki atau orang yang lebih mencintai kasur. Hahaha".

Yogyakarta, 10 Januari 2020



Sumber kutipan:
https://www.youtube.com/watch?v=8-HbjtysSkE
https://www.youtube.com/watch?v=wLXK_6VVapI&list=WL&index=22
https://www.youtube.com/watch?v=-saMvcZv39U

Komentar