SATU SYARAT (CAM #1)

 


Panggil saja aku Fafa. Satu-satunya putri dari pasangan suami-istri yang tinggal di pelosok timur Indonesia. Kata orang, aku ini anak yang tidak sabaran sejak dalam kandungan. Why? Because aku mendesak keluar dari rahim emak ku saat emak sedang mencuci baju.

“Aduh, anak ini tidak sabaran sekali dia, emak kan lagi nyuci baju. Bentar lagi ngapa?” Kata emak sambil meneruskan cuciannya.

Tapi sayangnya aku sudah kagak betah di dalam rahim. Panas, pengap, sempit. Aku mau keluar. KELUARIN AKU SEKARANG JUGA. *sambil nendang-nendang perut emak

“Iya deh, iya emak berhenti nyuci nih.” Emak langsung masuk kamar dan memanggil anak tetangga “Rif, Arif! Tolong panggilkan Bapak di sekolah, Rif.”

Tak lama kemudian bapak datang bersama Bidan desa.

“Walah Bu, kok ya sudah keluar to bayinya. Ini bayi nggak sabaran sekali.” Sahut bu Bidan mendengar tangis bayi itu, yang tidak lain adalah aku.

YUREKAAA. Akhirnya aku bebas. Selamat datang dunia. Eh bentar, ini terbalik nggak sih, kan aku yang datang ke dunia, bukan sebaliknya. Ah sudahlah, yang penting aku sudah terbebas dari ruang cairan berbau amis itu (read: rahim/ketuban).

■■■

Bertahun-tahun berlalu, akhirnya aku tumbuh menjadi gadis desa yang beranjak dewasa. Meski aku lahir dan besar di desa, tapi aku penasaran sekali dengan apa yang ada di luar sana.

“Wah, kayaknya kuliah di Jawa seru nih, kayak di Tipi-tipi gitu. Kuliah, nongkrong, ketemu gebetan, trus pacaran, TAMAT.” Pikiranku sebelum aku sadar ternyata itu hanya prak TV. “Pokoknya aku harus kuliah di Jawa.”

Ooo tidak semudah itu Ferguso. Ternyata izin sama emak lebih sulit dibanding ngelurusin tulisanku yang sering kena marah emak karena seperti ceker ayam. *dipatuk ayam

“Mak, Fafa mau kuliah di Jawa ya.”

“Kuliah di sini saja. Ada kampus yang dekat, kenapa harus jauh-jauh ke Jawa.”

“Tapikan di Jawa pendidikannya lebih bagus, Mak. Lagi pula di Kota sering kerusuhankan. Masak kemarin ada kantor kecamatan yang dilempari batu, dibakar pula. Fafa kan takut kalau harus kuliah di Kota sini, Mak.” Jelasku yang mencari-cari alasan. “Izinin Fafa ya Mak. Fafa janji deh nggak akan macem-macem di sana.”

Lama sekali emak diam di dapur sambil goreng kerupuk, tanpa menjawab permintaanku.

Akhirnya aku mengeluarkan jurus pamungkasku. MENANGIS. Ya, ini satu-satunya jurus terakhir kaum hawa yang sudah terpojokkan.

“Ya sudah, Mamak izinkan. Tapi ada satu syarat, kamu tidak boleh pulang sebelum lulus.”

Ini syarat yang sungguh berat, berat banget kayak mikul gabah berpuluh-puluh ton. Sebenarnya aku juga nggak pernah mikul gabah sebanyak itu sih. Trus dari mana aku tahu rasanya berat. Tapi why not? Yang penting ke Jawa dulu, yang lain urusan nanti. Pikirku.

“Ok, setuju.”

■■■

Akhirnya aku sampai juga di Jawa, lebih tepatnya di kota Jogja. Salah satu kota yang terkenal dengan pendidikan dan pelajarnya.

“Apakah ini nyata? Apakah kampus itu tidak salah menerimaku? Atau jangan-jangan ada calon peserta yang ikut ujian dan namanya sama denganku.” Pikiranku sudah mulai ngarang kemana-mana. “Maafkan aku ya seseorang di sana yang namanya sama denganku. Aku meminjam namamu sementara di sini. Jangan khawatir, akan ku pastikan kamu tidak akan menyesal meminjamkan namamu untukku masuk di kampus favorit ini.” Sambil menggenggam tangan kanan di depan dada kiri dengan penuh keyakinan.

Hingga akhirnya aku sadar.

“Ternyata keluar dari kampus ini jauh lebih sulit dibanding masuk kesini. Oh Tuhan, apa salah hamba. Hamba hanya meminjam nama seseorang itu.” Penyesalan yang tiada akhir.

■■■

Selama di Jogja, aku tinggal di indekos seperti mahasiswa lainnya. Tapi ada dua teman yang tinggal satu kos dengan ku, namun beda kamar. Meski mereka berdua bukan dari jurusan yang sama denganku.

Sebut saja namanya Aziz, mahasiswa jurusan teknik mesin. Tenang dia cewek tulen kok, walaupun namanya identik cowok. Awalnya emang aku juga curiga sih, jangan-jangan dia cewek jadi-jadian lagi. Tapi ternyata setelah aku cek, dia bisa dandan dong, cantik lagi. Aku mah kalah jauh kalau urusan sama make up. Apa itu make up? tidak ada dalam kamusku. Eh bentar, atau jangan-jangan aku lagi yang cewek jadi-jadian. *nelen make up

Selain Aziz ada juga Lina, mahasiswa jurusan Bahasa Korea. Katanya sih dia pengen nyusulin oppa-oppa ganteng yang ada di Korea gitu. Oh iya, dia sempat KKN (Kuliah Kerja Nyata) selama 3 bulan di Korea sesuai dengan program dari Prodi nya. Asik ya akhirnya dia bisa mewujudkan cita-citanya nyusul oppa-oppa korea.

Etsss, tapi ternyata realita tidak sesuai ekspektasi gaes. Dia mengaku selama di Korea dia mendapat daerah di pedesaan, dimana butuh waktu yang cukup lama untuk sampai ke kota Seoul yang menjadi pusat jantung Korea. Sedangkan dia di sana itu KKN bukan jalan-jalan. Akhirnya dia hanya bisa sekali ke kota dan itupun tidak bisa bertemu dengan oppa-oppa Korea.

Hmmm, ternyata tidak jauh berbeda denganku yang dulu berfikir bisa bertemu banyak artis di kota Jogja yang sering digunakan sebagai tempat shooting FTV ini. Nyatanya sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengan arti FTV. Hanya saja pernah bertemu Meyda Sefira pemeran Ketika Cinta Bertasbih, sewaktu mengadakan seminar kemuslimahan di kampus. Ya setidaknya itu sudah menjadi hal yang luar biasa. Bisa bertemu dengan salah satu pemain di film favoritku.

Kami bertiga berasa dari daerah yang berbeda. Aku dari Pulau Buru, Aziz dari Boyolali, dan Lina dari Jakarta. Tapi kami masuk di kampus yang sama dan tinggal di indekos yang sama pada tahun yang sama. Intinya, kami bertiga datang ke Jogja sebagai perantau. Keren nggak tuh. Kata orang “Merantaulah, maka akan kau tahu arti kata rindu untuk pulang.” Dan ternyata bener banget, aku tahu banget rasanya kayak apa, nyesek. *cari tisu



Komentar