Panggil
saja aku Fafa. Satu-satunya putri dari pasangan suami-istri yang tinggal di
pelosok timur Indonesia. Kata orang, aku ini anak yang tidak sabaran sejak
dalam kandungan. Why? Because aku mendesak keluar dari rahim
emak ku saat emak sedang mencuci baju.
“Aduh, anak ini tidak sabaran sekali dia, emak
kan lagi nyuci baju. Bentar lagi ngapa?” Kata emak sambil meneruskan cuciannya.
Tapi sayangnya aku sudah kagak betah di dalam
rahim. Panas, pengap, sempit. Aku mau keluar. KELUARIN AKU SEKARANG JUGA.
*sambil nendang-nendang perut emak
“Iya deh, iya emak berhenti nyuci nih.” Emak
langsung masuk kamar dan memanggil anak tetangga “Rif, Arif! Tolong panggilkan
Bapak di sekolah, Rif.”
Tak lama kemudian bapak datang bersama Bidan
desa.
“Walah Bu, kok ya sudah keluar to bayinya. Ini
bayi nggak sabaran sekali.” Sahut bu Bidan mendengar tangis bayi itu, yang
tidak lain adalah aku.
YUREKAAA. Akhirnya aku bebas. Selamat datang
dunia. Eh bentar, ini terbalik nggak sih, kan aku yang datang ke dunia, bukan
sebaliknya. Ah sudahlah, yang penting aku sudah terbebas dari ruang cairan
berbau amis itu (read: rahim/ketuban).
■■■
Bertahun-tahun berlalu, akhirnya aku tumbuh
menjadi gadis desa yang beranjak dewasa. Meski aku lahir dan besar di desa,
tapi aku penasaran sekali dengan apa yang ada di luar sana.
“Wah,
kayaknya kuliah di Jawa seru nih, kayak di Tipi-tipi gitu. Kuliah, nongkrong,
ketemu gebetan, trus pacaran, TAMAT.” Pikiranku sebelum aku sadar ternyata itu
hanya prak TV. “Pokoknya aku harus kuliah di Jawa.”
Ooo tidak semudah itu Ferguso. Ternyata izin
sama emak lebih sulit dibanding ngelurusin tulisanku yang sering kena marah
emak karena seperti ceker ayam. *dipatuk ayam
“Mak, Fafa mau kuliah di Jawa ya.”
“Kuliah di sini saja. Ada kampus yang dekat, kenapa
harus jauh-jauh ke Jawa.”
“Tapikan di Jawa pendidikannya lebih bagus,
Mak. Lagi pula di Kota sering kerusuhankan. Masak kemarin ada kantor kecamatan
yang dilempari batu, dibakar pula. Fafa kan takut kalau harus kuliah di Kota
sini, Mak.” Jelasku yang mencari-cari alasan. “Izinin Fafa ya Mak. Fafa janji
deh nggak akan macem-macem di sana.”
Lama sekali emak diam di dapur sambil goreng
kerupuk, tanpa menjawab permintaanku.
Akhirnya aku mengeluarkan jurus pamungkasku.
MENANGIS. Ya, ini satu-satunya jurus terakhir kaum hawa yang sudah terpojokkan.
“Ya sudah, Mamak izinkan. Tapi ada satu syarat,
kamu tidak boleh pulang sebelum lulus.”
Ini
syarat yang sungguh berat, berat banget kayak mikul gabah berpuluh-puluh ton.
Sebenarnya aku juga nggak pernah mikul gabah sebanyak itu sih. Trus dari mana
aku tahu rasanya berat. Tapi why not? Yang penting ke Jawa dulu, yang
lain urusan nanti. Pikirku.
“Ok, setuju.”
■■■
Akhirnya aku sampai juga di Jawa, lebih
tepatnya di kota Jogja. Salah satu kota yang terkenal dengan pendidikan dan
pelajarnya.
“Apakah ini nyata? Apakah kampus itu tidak
salah menerimaku? Atau jangan-jangan ada calon peserta yang ikut ujian dan
namanya sama denganku.” Pikiranku sudah mulai ngarang kemana-mana. “Maafkan aku
ya seseorang di sana yang namanya sama denganku. Aku meminjam namamu sementara
di sini. Jangan khawatir, akan ku pastikan kamu tidak akan menyesal meminjamkan
namamu untukku masuk di kampus favorit ini.” Sambil menggenggam tangan kanan di
depan dada kiri dengan penuh keyakinan.
Hingga akhirnya aku sadar.
“Ternyata keluar dari kampus ini jauh lebih
sulit dibanding masuk kesini. Oh Tuhan, apa salah hamba. Hamba hanya meminjam
nama seseorang itu.” Penyesalan yang tiada akhir.
■■■
Selama di Jogja, aku tinggal di indekos seperti
mahasiswa lainnya. Tapi ada dua teman yang tinggal satu kos dengan ku, namun
beda kamar. Meski mereka berdua bukan dari jurusan yang sama denganku.
Sebut
saja namanya Aziz, mahasiswa jurusan teknik mesin. Tenang dia cewek tulen kok,
walaupun namanya identik cowok. Awalnya emang aku juga curiga sih,
jangan-jangan dia cewek jadi-jadian lagi. Tapi ternyata setelah aku cek, dia
bisa dandan dong, cantik lagi. Aku mah kalah jauh kalau urusan sama make up.
Apa itu make up? tidak ada dalam kamusku. Eh bentar, atau
jangan-jangan aku lagi yang cewek jadi-jadian. *nelen make up
Selain
Aziz ada juga Lina, mahasiswa jurusan Bahasa Korea. Katanya sih dia pengen
nyusulin oppa-oppa ganteng yang ada di Korea gitu. Oh iya, dia sempat KKN
(Kuliah Kerja Nyata) selama 3 bulan di Korea sesuai dengan program dari Prodi
nya. Asik ya akhirnya dia bisa mewujudkan cita-citanya nyusul oppa-oppa korea.
Etsss,
tapi ternyata realita tidak sesuai ekspektasi gaes. Dia mengaku selama di Korea
dia mendapat daerah di pedesaan, dimana butuh waktu yang cukup lama untuk
sampai ke kota Seoul yang menjadi pusat jantung Korea. Sedangkan dia di sana
itu KKN bukan jalan-jalan. Akhirnya dia hanya bisa sekali ke kota dan itupun
tidak bisa bertemu dengan oppa-oppa Korea.
Hmmm,
ternyata tidak jauh berbeda denganku yang dulu berfikir bisa bertemu banyak
artis di kota Jogja yang sering digunakan sebagai tempat shooting FTV ini. Nyatanya sampai sekarang aku belum pernah bertemu
dengan arti FTV. Hanya saja pernah bertemu Meyda Sefira pemeran Ketika Cinta
Bertasbih, sewaktu mengadakan seminar kemuslimahan di kampus. Ya setidaknya itu
sudah menjadi hal yang luar biasa. Bisa bertemu dengan salah satu pemain di film
favoritku.
Kami bertiga berasa dari daerah yang berbeda. Aku dari Pulau Buru, Aziz dari Boyolali, dan Lina dari Jakarta. Tapi kami masuk di kampus yang sama dan tinggal di indekos yang sama pada tahun yang sama. Intinya, kami bertiga datang ke Jogja sebagai perantau. Keren nggak tuh. Kata orang “Merantaulah, maka akan kau tahu arti kata rindu untuk pulang.” Dan ternyata bener banget, aku tahu banget rasanya kayak apa, nyesek. *cari tisu

Komentar
Posting Komentar